09 Februari 2021

opini musri nauli : Kisah Selasa Pagi

 



Bangun pagi untuk menghadiri persidangan yang tepat waktu adalah kemewahan. Bukan semata-mata kesulitan yang susah kutepati. Tapi semata-mata persidangan ini penting kali ini. Keterangan terdakwa dalam kasus pidana. 


Buru-buru bangun, mandi dan bergegas ke pengadilan Kota Jambi kulakoni. Setelah praktis, persidangan biasa dikejar pada tengah hari. 


Ya. Persidangan pidana yang penting, membuat jam 10 teng harus hadir dipersidangan. Belum lagi persiapan teknis zooming yang membuat ribet. Entah harus masuk dulu ke link, test suara speaker, sound sistem ataupun layar yang layak untuk mengikuti persidangan. 


Praktis. Persidangan di tengah pandemic seringkali harus terlibat urusan tetek bengek. Urusan teknis yang sering kali membuat jengkel. 


Seringkali ditengah persidangan, tiba-tiba listrik mati. Entah di pengadilan ataupun di seberang sana. Dan so pasti, sidang mesti dihentikan sementara menunggu listrik kemudian hidup. 


Atau tiba-tiba ditengah persidangan, kemudian di layar laptop kemudian tiba-tiba “hang’. Cuma berputar-putar zooming. 


Bahkan tidak jarang kemudian “suara” yang terdengar kurang jelas. Ataupun diruangan sidang mesti sedikit berteriak. Agar dapat didengar para pihak disana. 


Pokoknya menggangu. 


Padahal seringkali aku mengikuti pertemuan via zooming, urusan sepele ini praktis sama sekali tidak terjadi. 


Apakah tidak ada fasilitas zooming yang dibuatkan resmi oleh negara yang digunakan dalam acara-acara resmi pemerintahan  ? Ah. Aku tidak mau berfikir terlalu jauh. 


Bagiku, persidangan yang semestinya dapat dilakoni dengna baik sering terjebak dengan urusan teknis yang bertele-tele. 


Setahun sudah pandemic datang ke Indonesia. Meluluhlantakkan ekonomi. Mencabut akar sosial. Membuat agenda ngopi menjadi terpinggirkan. 


Belum lagi kewajiban memakai masker sebagai protocol kesehatan yang membuat ribet. Selalu ready masker yang membuat sering kehilangan akal ketika ketinggal dirumah. 


Namun mengenai aplikasi zooming, apakah tidak ada putra-putra Indonesia yang menghasilkan aplikasi yang dapat dinikmati rakyat Indonesia. Mengapa kita harus menggunakan berbagai aplikasi yang konon dibuat diluar Indonesia ? 


Ah. Cerita Selasa pagi membuat aku semakin yakin. Ternyata pepatah lama “ada cerita dibalik derita” atau “setiap kesempatan adalah peluang bisnis” belum mampu menggerakkan. Para teknokrat yang memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia. 


Atau. Jangan-jangan aku sendiri tidak tau. Mungkin sudah ada. Tapi aku malah terjebak menggunakan fasilitas yang sudah ada. Dan memang dibuat bukan orang Indonesia.