09 Februari 2021

opini musri nauli : Analisis Yuridis Gambut dan Mangrove

 ANALISIS YURIDIS GAMBUT DAN MANGROVE

(Studi kasus Perpres No. 1 Tahun 2016 dan Perpres No. 120 Tahun 2016)

Musri Nauli 




Ditengah pandemic virus covid – 19, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No. 120 Tahun 2020 Tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (Perpres No 1/2020). Perpres No. 120/2020 menggantikan Perpres No. 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut (Perpres No 1/2016). 

Dengan lahirnya Perpres No 120/2020 menggantikan Perpres No 1/2016 maka perdebatan tentang nasib BRG menjadi terjawab. 


Dengan lahirnya Perpres No 120/2020 maka kebijakan negara dalam Pemerintahan Jokowi memandang perlu masih perlu dilakukan pemulihan gambut (restorasi gambut). Sebuah pilihan ditengah perdebatan nasib BRG ketika berakhir tahun 2020. 


Sebagaimana diketahui, usia BRG ditentukan berakhir tahun 2020. Mandat Perpres No 1/2016 tegas mengaturnya. 


Namun berbagai skenario terhadap nasib BRG dapat disimulasikan. Apakah terhadap pemulihan gambut dikembalikan ke instansi teknis sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009. Atau dilanjutkan proses pemulihan gambut ? Atau malah dibawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana ? 


Simulasi ini pernah menjadi diskusi dan memancing polemik dikalangan akademisi dan peminat pemulihan gambut. 


Wacana seperti BRG dileburkan didalam Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut Dirjen PPKL dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Direktorat Gambut), dibawah koordinasi BNPB atau Badan yang khusus bertugas untuk memulihkan gambut.


Apabila dilihat regulasi seperti UU No. 32/2009, PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 maka lembaga yang mendapatkan mandat untuk menjadi “pemaksa” perintah pemulihan gambut adalah “Kementerian Lingkungan Hidup”.


Politik hukum kemudian dimandatkan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK). Mandat ini kemudian dapat dilihat Permen LHK No P.18/MENLHK-II/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK No. 18/2015). Permen LHK No 18/2015 menghapuskan Permenhut No 33/2012 dan Permen LH No 18/2012.


Untuk mengatur teknis kemudian pengaturan gambut diatur didalam Pasal 642 Permen LHK No 18/2015. Dikenal Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut (Direktur Gambut). Direktur Gambut dibawah Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL).


Namun melihat kebakaran massif tahun 2015, Presiden Jokowi kemudian membentuk badan yang melaksanakan kegiatan restorasi gambut. Badan yang dibentuk diharapkan dapat menjadi tugas proses percepatan pemulihan Kawasan dan pengembalian fungsi hidrologi gambut akibat kebakaran yang khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.


Pertimbangan Presiden Jokowi membentuk Badan yang bertugas pemulihan gambut dikenal sebagai Politik Hukum. Sebuah konsepsi yang melekat kewenangan Jokowi sebagai Presiden.


Namun menilik semangat dari Pemerintahan Jokowi yang masih memandang pekerjaan pemulihan gambut harus dilanjutkan,  termasuk capaian yang hendak diraih, Perpres No 120/2020 adalah angin segar. Dengan dilanjutkan pelaksanaan percepatan pemulihan gambut, maka pemulihan gambut dapat memperbaiki kehidupan lingkungan yang lebih baik. 


Bahkan tidak hanya mengatur di sektor gambut. Namun justru wewenang Badan Restorasi Gambut justru diperluas. Pemulihan gambut selain dilanjutkan juga menambah beban untuk melakukan pemulihan di sektor mangrove. 


Membicarakan gambut dan mangrove memang menarik perhatian publik di Indonesia dikaitkan dengan berbagai kebakaran. Terutama kebakaran massif di Pulau Sumater dan Kalimantan. 


Tahun 2015 beberapa Provinsi di Sumatera dan Kalimantan kemudian lumpuh. Berbagai aktivitas dihentikan. Penerbangan bahkan nyaris berhenti. Dan tidak ada penerbangan menyebabkan kebakaran menjadi kenangan pahit di Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Selatan. 


Bahkan akibat kebakaran 2015, Hampir seluruh Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan tertutup asap. Singapura dan Malaysia kemudian merasakan getahnya. Mereka merasakan langsung akibat kebakaran 2015. 


Kondisi ini yang kemudian menyebabkan Jokowi menerbitkan Perpres No 1/2016 untuk perintah pemulihan gambut. Perintah pemulihan gambut kemudian berakhir tahun 2020. 


Didalam regulasi, membicarakan gambut dan mangrove tidak dapat dilepaskan dari UU No. 32/2009. Didalam UU No. 32/2009 pengaturan gambut dan mangrove ditempatkan sebagai kawasan Esensial. 



UU No. 32/2009 menyebutkan sebagai “ecoregion). UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan “ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas system alam dan lingkungan hidup”. Berbagai literatur kemudian menempatkan “rawa, gambut, Sungai, savana, pesisir, laut, karst”.


Regulasi kemudian menegaskan didalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP No. 28 Tahun 2011 kemudian menegaskan sebagai Kawasan ekosistem esensial adalah “karst”, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau dan diwilayah pasang surut, mangrove dan gambut”.


Sehingga PP No. 28 Tahun 2011 kemudian mendefinisikan sebagai Kawasan esensial yang terdiri dari “ekosistem esensial lahan basah dan ekosistem terrestrial”. “Ekosistem lahan basah” kemudian terdiri dari danau, sungai, payau, rawa, Mangrove dan gambut’.


Ketika gambut sebagai Kawasan esensial berdasarkan PP No. 28 Tahun 2011 juga ditegaskan sebagai “Kawasan plasma nutfah spesifik dan atau endemik” (Pasal 9 ayat (4) huruf b PP No. 71 Tahun 2014”.


UU No 32/2009 kemudian menurunkan Gambut menjadi PP No 71/2014 junto PP No 57/2016. Sedangkan Mangrove dapat ditemui didalam Perpres No. 73/2012. 


Melihat capaian 780 ribu ha (88%) dari total restorasi gambut diluar konsesi dan terlibatnya 109 perusahaan seluas 442 ribu ha (79,6%) total areal perkebunan didalam target restorasi gambut, maka dibutuhkan lembaga untuk melanjutkan tugas pemulihan gambut.


Semangat Politik Hukum harus dilanjutkan. Tugas untuk melakukan pemulihan gambut (termasuk diareal konsesi) maka diimbangi dengan amandemen Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 A, Pasal 44  PP No. 57 Tahun 2016.  


Baca juga : Simulasi Lembaga Pemulihan Gambut Paska 2020