13 Februari 2021

opini musri nauli : Kritik dan Menghina





Ketika seruan dari Jokowi “minta dikritik”, seketika suara berdengung. Berseru bak “lebah’. Mempertanyakan apakah ketika mengkritik kemudian tidak menimbulkan persoalan hukum. 


Seketika itu juga berbagai kasus-kasus kemudian disandingkan. Untuk memperbandingkan antara “minta kritik” dari Jokowi dengan berbagai kasus. 


Sebelum menentukan apakah “kritik” yang dibutuhkan Jokowi dengan berbagai kasus, alangkah bijaksana kemudian kita meletakkan dalam konteks. Apakah yang dimaksudkan kritikan tidak menimbulkan persoalan hukum atau tidak. 


Menurut kamus Bahasa Indonesia, kritik adalah kecaman atau tanggapan atau kupasan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. 


Secara umum kritik harus disertai dengan pertimbangan yang didasarkan kepada fakta-fakta. Untuk memperkuat argumentasi. 


Didalam Pasal 310 ayat (3) KUHP tegas dinyatakan, tidak termasuk disebut penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri. 


Saya menggunakan istilah “penghinaan” sebagai terjemahan bebas dari “pencemaran”. Istilah “pencemaran” yang didalam pasal 310 KUHP sering juga diartikan sebagai “pencemaran nama baik”. 


Dengan merujuk definisi istilah didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan dipadankan didalam pasal 310 ayat (3) KUHP maka kategori kritik tidak dapat diproses hukum. 


Lalu mengapa begitu banyak kasus-kasus yang kemudian sering disebut sebagai “kritik” kemudian diproses hukum. 


Sudah saatnya kita harus mempunyai filter apakah pernyataan dikeluarkan dikategorikan sebagai “kritik” atau bukan. 


Memperhatikan pasal 310 KUHP, diluar dari “kritik” untuk kepentingan umum atau membela diri maka dapat dikategorikan sebagai “menghina (pencemaran nama baik)”. Sehingga dapat dikategorikan sebagai pasal yang dapat menjerat siapapun yang dapat menghina nama baik seseorang. 


Dalam praktek peradilan, untuk menentukan “nama baik” seseorang adalah langsung mengancam kehormatan diri seseorang. Sehingga yang dilarang menurut KUHP adalah “menyerang kehormatan” seseorang. 


Ukuran “kehormatan” seseorang juga sering diuraikan didalam berbagai pertimbangan Hakim. Sebagai contoh menyerang “kepribadian” ataupun diri seseorang yang dijadikan serangan. 


Dengan uraian yang telah disampaikan baik dilihat didalam definisi istilah didalam kamus Bahasa Indonesia, norma pasal 310 KUHP dan berbagai putusan hakim (yurisprudensi), maka untuk membuktikan “menyerang kehormatan” begitu ketat. Sehingga tidak setiap laporan yang disangkutpautkan dengan pasal 310 KUHP dapat terbukti dimuka persidangan. 


Dengan demikian, maka terhadap argumentasi yang disampaikan dilengkapi dengan pertimbangan (menurut kamus Bahasa Indonesia) dan untuk kepentingan public atau didalam membela diri (pengecualian diatur didalam Pasal 310 ayat 3 KUH) maka menjadi jernih makna “kritik”. 


Dengan pisau analisis inilah maka kita mudah menentukan apakah argumentasi yang disampaikan mempunyai pertimbangan dan untuk kepentingan public/membela diri atau tidak. 


Diluar dari kategori maka dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana “menghina (pencemaran nama baik)”. Ketentuan yang diatur didalam pasal 310 KUHP. 


Dengan pisau analisis itulah maka kita dapat memperhatikan berbagai kasus-kasus yang disodorkan oleh berbagai pihak sebagai padanan seruan Jokowi “minta dikritik”. 


Lihatlah. Apakah yang disampaikan merupakan kritikan atau menghina ?