“Tuanku, hamba bingung dengan nasib hamba. Apakah hamba bisa mengabdi di Istana Astinapura ?”, tanya sang dubalang kepada punggawa Istana. Suaranya berbisik. Nyaris tak terdengar.
Terlihat mukanya kusut. Terbayang nasibnya kelak ketika sang Raja baru bertahta. Terbayang nasib istrinya yang akan menderita.
Berbagai hiasan yang mengelilingi lehernya akan kemudian disimpan. Malu dengan tetangga apabila dubalang tidak bekerja lagi di Istana.
Tak sanggup menahan beban derita yang akan ditanggungnya.
“Berbaktilah dengan ikhlas. Raja yang akan memerintah di Istana akan percaya dengan kesetiaan para dubalang. Bakti kita kepada Istana. Bukan kepada raja yang berkuasa”, titah sang punggawa parau. Suaranya tidak meyakinkan untuk disuarakan. Nasibnya sendiripun tidak yakin. Apakah Raja baru akan meminta untuk berbakti di kerajaan.
“Tidak, tuanku. Hamba sendiri kurang yakin dengan nasib hamba. Tentu saja para punggawa dan dubalang Raja yang menguasai Istana. Mereka sendiri yakin. Kita tidak mendukung Raja muda yang baru”, kata sang dubalang membantahnya.
“Ya. Dubalang. Memang para penghuni Istana tidak ada yang mendukung Raja Muda. Raja muda mendapatkan mahkota Raja Astinapura Karena Rakyat negeri Astinapura yang menyukainya.
“Mereka berkeinginan agar Raja Muda yang berasal dari kaum jelata agar dapat memimpin. Mereka rindu pemimpin muda.
“Itu keinginan Rakyat Astinapura. Para Dewata merestuinya”, kata sang Punggawa. Suaranya semakin lirih. Sang punggawa sendiripun tidak meyakini nasibnya.
“Ya. Semoga Raja muda yang akan bertahta di Istana Astinapura akan bertindak bijaksana. Akan memilih para punggawa dan dubalang untuk menjaga Istana Astinapura”, kata sang dubalang berharap. Agar Tetap berbakti di Istana Astinapura.
“Semoga para dewata mendengarkan doa kita”, kata sang punggawa.