“Ngapaian kalian ribut ? Ini acara terbatas.. Dan negara tidak boleh menghalangi acara ini ?”, kata Arbi Sanit (kami lebih sering memanggil Bung Arbi).
Saat itu dia sedang memberikan pandangan politik orde baru ditengah acara SBSI. Petugas berseragam datang dan “mengganggu” acara di internal.
Rambutnya sudah banyak memutih. Namun rambut memanjang dibelakang lebih suka diikat. Pakai ikat rambut.
Ciri khas yang lekat hingga akhir hayatnya.
Tidak ada sedikitpun ketakutan. Suaranya menggelenggar. Melengking. Memecah suasana keheningan diruangan.
Saat itu sekitar tahun 1995, orde baru sedang kuat-kuatnya mencengkeram. Menjelang Pemilu 1997, berbagai aktivitas kegiatan dipantau. Entah petugas berseragam berbagai warna.
SBSI salah satu Organisasi yang paling sering diintai, dibubarkan. Para pengurus sudah menjadi “langganan” diintegorasi. Dibawa ke kantor-kantor.
Absensi peserta sering dibawa. Spanduk dan umbul-umbul acara sering disita.
Ketua Panitia adalah ‘orang pertama” yang dicari. siap-siap kedatangan petugas berseragam yang kapan saja bisa datang.
Kadangkala acara baru mulai. Syukur-syukur acara sudah dimulai atau sudah hampir selesai.
Rangkaian acara akan menentukan “emosi” petugas berseragam. Apabila acara hampir selesai, bisa-bisa sang komandan bisa ngamuk.
Keluarlah sumpah serapah. Termasuk suara membentak siapapun yang Hadir didalam ruangan.
Pasal-pasal laris seperti “arak-arakkan dimuka umum” sebagai “teror” untuk membubarkan demonstrasi. Pasal yang diatur didalam 510 KUHP menyebutkan “Diancam dngan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu: melaksanakan pesta atau keramaian dan kerumunan untuk umum; melaksankan arak-arakan di jalanan umum.”
Pasal ini kemudian dikenal sebagai pasal “lima ribu Perak” sebagai sindiran menerapkan pasal untuk kegiatan.
Pasal ini kemudian direduksi didalam UU No. 9 Tahun 1998.
Disaat orde baru begitu digdaya, berbagai organisasi yang kemudian menjadi tunggal, mencari ataupun menemukan pembicara adalah sebuah “kemewahan”.
Para akademisi paling “banter” mau berbicara di kampus. Berapi-api dari kampus.
Namun ketika diajak diskusi diluar kampus, so pasti menolak. Enggan berhadapan dengan kekuasaan tirani orde baru.
Disaat mencari ataupun menemukan pembicara diluar kampus, ngomong politik orde baru bak “oase”.
Dan bung Arbi adalah sedikit orang yang bersedia menjadi pembicara diluar kampus. Apalagi sedikit orang yang bicara politik orde baru.
Yang kutahu dia adalah Sahabat Bung MP (Muchtar Pakpahan). Keduanya kukenal sebagai Intelektual organik. Yang rela meninggalkan “kemewahan” kampus.
Berbicara ditengah masyarakat. Sembari memberikan pendidikan politik.
Keduanya “beradu argumentasi” dengan petugas berseragam. Termasuk suara yang Tetap meninggi ditengah bentakan dari komandan petugas berseragam.
Dari keduanya kemudian Aku Belajar. Membantu “menerangi” alam sekitarnya. Dengan sedikit ilmu dari kampus.
Meninggalkan dunia kemapanan. Dan berbagi cerita. Ditengah khayalak ramai.
Mendapatkan kabar Bung Arbi yang menyusul sahabatnya. Beberapa hari kemudian.
Seketika itu kemudian membangkitkan semangat. Untuk terus berkarya. Meneruskan cita-cita mereka keduanya.
Engkau dan sahabatmu telah memberikan arti.
Selamat jalan, Bung Arbi.