19 April 2021

opini musri nauli : Mimpi dan dermawan

  


Tidak dapat dipungkiri, pesta meriah yang dilakukan papan atas ditengah pandemik corona memantik kemarahan dan sumpah serapah berbagai kalangan. 


Sumpah serapah yang disampaikan selain berangkat dari keprihatinan juga didasarkan berbagai tontotan yang tidak bermutu. 


Suka atau tidak suka, kehadiran youtuber atta halilintar memang membangunkan impian anak-anak muda. Yang suka selfie sekaligus upload ke YouTube. Sekaligus berharap mendapatkan like and subsribers. Syukur-syukur kemudian mendapatkan iklan sembari mengharapkan durian runtuh. Videonya kemudian meledak di pasaran. Pundi-pundi uangpun mengalir. 


Pesta meriah yang kemudian diliput habis-habisan televisi nasional ditengah pandemik corona memang ironi. 


Ditengah “sesak nafas” Rakyat Indonesia menghadapi pandemik, scedule berantakan akibat perubahan pekerjaan, berbagai pertemuan melalui webinar, erkembangan ekonomi mulai morat-marit. Berbagai Pekerjaan yang harus berjaringan didunia nyata kemudian pindah. Melalui daring yang kemudian membuat Tenaga kerja dibutuhkan menjadi jauh berkurang, membuat rakyat Indonesia justru berpandangan ironi. 


Tidak salah kemudian mereka memilih sejenak memalingkan muka. Keluar dari kepengapan. Menghibur diri. 


Lalu. Datanglah layanan yang dibutuhkan. Acara-acara infotainment yang dikemas Artis yang cuma menampilkan kemewahan ataupun kehidupan sehar-hari. Jauh dari mimpi sang penonton. 


Belum lagi sinetron yang tidak jelas juntrungan jalur ceritanya. Bahkan “bak” Robin Hood, tiba-tiba saja datang. Simsalabim. Ceritapun kemudian usai. 


Acara yang dikemas sudah berlangsung bertahun-tahun. Nyaris tidak pernah disentuh oleh orang tua yang mulai menunjukkan kemarahannnya. 


Namun disisi lain, Berbagai hiruk pikuk pemilu, pilkada tenggelam dengan berbagai tayangan. Bahkan cerita pilpres yang sempat mengharu-birukan Indonesia justru berlalu dengan damai. Aman. 


Pesta meriah yang dilakukan oleh artis papan atas adalah proses panjang. Dari youtuber yang terkenal, mampu memproduksi kontens yang laris disimak oleh para penggemarnya hingga berbagai “kisah percintaan” yang konyol. Semuanya dikemas dengan gaya entertainment. 


Nah. Setelah berbagai pernik-pernik yang mengiringinya, mampu menjual mimpi rakyat Indonesia, pesta meriah yang langsung dihadiri oleh Jokowi dan Prabowo adalah muara dari mimpi Rakyat Indonesia. 


Semuanya kemudian bermimpi “menghadiri”, “melaksanakan” bahkan kalaupun boleh. Bermimpi menjadi sepasang pengantin yang langsung dihadiri langsung Presiden. 


Lalu mengapa Rakyat Indonesia menunggu pesta meriah ditengah pandemik corona. 


Apakah Rakyat Indonesia tidak menunjukkan empatinya kepada pandemik corona. 


Waduh. Terlalu naif apabila membandingkan “mimpi” menonton hajatan pesta meriah dengan empati kepada pandemik corona. 


Suka atau tidak suka. Bangsa Indonesia menunjukkan rasa empati berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. 


Entah bencana alam yang terjadi disekitarnya maupun bencana alam yang terjadi diberbagai Daerah lain. 


Bukankah jamak yang terjadi disekitar kita, sikap gotong royong masih dirasakan. 


Ditengah kemajuan modernisasi, sikap gotong royong masih kental terasa. Entah cuma membantu mendirikan tenda ditetangga disebabkan adanya kemalangan. 


Ataupun membangun solidaritas donasi terhadap berbagai bencana yang terjadi. 


Rasa solidaritas yang melekat sebagai bangsa Indonesia justru menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang dermawan. 


Menurut berbagai studi menunjukkan, semula Indonesia masuk sebagai negara yang dermawan. Namun tahun 2018 sempat Indonesia justru melesat menempati posisi puncak. 


Menurut hasil studi, kemampuan dermawan bangsa Indonesia ditandai dengan skor seperti membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen.


Pencapaian Indonesia di peringkat pertama menggeser posisi Myanmar.  Tahun 2018,  Myanmar turun ke peringkat 9, setelah sebelumnya memegang posisi teratas sejak tahun 2014. Skor Myanmar menurun sejak tahun 2017.


Dengan demikian maka cuma “menonton mimpi indah” tidak berkaitan dengan sikap empati kepada pandemik corona. 


Namun sekedar “menonton mimpi indah” adalah “pelarian sementara” dari himpitan ekonomi yang terus mendera. 


Lalu. Apa yang bisa kita lakukan ?