Syahdan. Terdengar berbisik dibelakang istana Astinapura. Suaranya nyaris tidak terdengar.
“Tuanku dubalang Raja. Apakah engkau tidak memperhatikan para punggawa kerajaan yang mengabaikan titah sang raja ?”, tanya menti serasa berbisik. Khawatir tanyanya kemudian menimbulkan kehebohan.
“Benar, wahai sang menti. Setiap titah dari Sang Raja nyaris tidak ditunaikan. Entah mengapa para punggawa kerajaan mengabaikannya”, jawab sang dubalang raja heran.
“Bukankah apabila titah sang raja yang abai ditunaikan akan mengakibatkan kurangnya kepercayaan dari sang raja”, lanjutnya.
“Benar, tuanku. Padahal sang Raja Astinapura telah memberikan titah. Di alun-alun Istana. Lalu mengapa para punggawa kerajaan mengabaikannya”, lagi-lagi keheranan di wajah sang menti. Serasa tidak percaya. Titah sang Raja hanya sekedar Angin Lalu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda dari punggawa kerajaan akan menunaikannya.
Suasana kembali sunyi. Terbalut dengan kata tanya yang belum ditemukan jawabannya.
“Semoga besok hari, setelah matahari memancarkan sinarnya, kita menemukan jawabannya”, harap sang dubalang raja. Sembari merapikan jubahnya, dia kemudian menuju paseban kerajaan.