Tiba-tiba rasa nasionalisme terpupuk rapi. Terbangun dari mimpi tidur. Membangkitkan semangat kebangsaan yang sempat redup.
Yap. Menjelang kemerdekaan, medali emas di kejuaraan multi event bergengsi, Olimpiade Tokyo 2020 adalah pelipur lara. Setelah berbagai prestasi Olahraga Indonesia cuma jago Kandang.
Menyambut kemenangan medali emas adalah bagian dari rasa kegembiraan Indonesia. Ditengah pandemik yang belum juga usai, medali emas dapat membangkitkan semangat kebersamaan.
Hiruk-pikuk menyambut medali emas adalah kegembiraan yang memang patut dirayakan. Berbagai tokoh partai, berbagai pihak dan masyarakat menyambut dengan gembira.
Namun dasar politisi. Disaat eforia kemenangan medali emas dirasakan Rakyat Indonesia, mengisi dahaga kehausan prestasi Indonesia di kancah internasional apalagi di tingkat olimpiade, tiba-tiba rasa mual melihat kelakuan politisi kemudian merusak suasana kegembiraan.
Apabila merayakan dengan mengucapkan kemenangan yang dilakukan oleh politisi tidak memantik polemik.
Namun apabila ucapannya lebih besar photo politisi daripada sang juara sekaligus kemudian memenuhi bilboard ataupun linimasa media sosial yang kemudian dilihat oleh netizien maka spanduk kemenangan justru malah mengeringkan rasa gembira yang Tengah dirasakan oleh Rakyat Indonesia.
Bayangkan. Disaat kegembiraan ditengah rakyat Indonesia, sempat-sempatnya politisi murahan mengucapkan selamat dengan lebih menonjolkan photonya dari ucapan tulus atas kemenangan sang juara.
Tidak salah kemudian, politisi murahan di Indonesia justru selalu mengambil kesempatan dari setiap event ataupun peristiwa yang menjadi konsentrasi rakyat Indonesia.
Tidak bisakah sejenak meninggalkan hiruk pikuk dunia politik. Berbaur dan merasakan kemenangan dari sang juara. Sekaligus melepaskan atribut politik. Kemudian bergabung dengan Rakyat Indonesia.
Ah. Kemenangan yang baru saja diteguk kemudian dirasakan hambar.