Tidak dapat dipungkiri, setiap zaman menghasilkan pemimpin yang dibutuhkan zaman. Entah karena kebutuhan ataupun memang digariskan oleh zaman.
Tanpa harus mengabaikan para pendekar Walhi yang berserak di berbagai tempat dan berbagai zaman, 3 orang yang kukenal adalah orang yang memang ditakdirkan oleh alam.
Pertama. Zenzi Suhadi. Direktur Walhi Bengkulu. Yang kemudian membawa garis tangannya kemudian mencapai puncak. Menjadi Direktur Eksekutif Nasional Walhi.
Kedua. Ismet Sulaiman. Direktur Walhi Maluku Utara. Yang kemudian ditugaskan oleh organisasi menjadi anggota Dewan Nasional Walhi. Lembaga pengawal konstitusi dan parlemen di Walhi.
Ketiga. Umbu Wulang Tanaamahu. Direktur Walhi NTT. Yang kemudian dipercaya anggota. Untuk melanjutkan periode keduanya.
Ketiganya kemudian diberi amanah untuk mengawal Walhi 4 tahun kedepan.
Kebetulan ketiga tempat seperti Bengkulu, Ternate dan Sumba pernah kudatangi. Kebetulan juga ketiganya juga bertemu dengan periode ketika menjadi Direktur Walhi Jambi.
Mengapa ketiga saya menyebutkan mereka pendekar ?
Pertama. Ketiganya adalah “DNA” Walhi. Mereka mengakar dan cukup dihormati ditengah masyarakat. Setiap petuahnya mampu menggerakkan rakyat yang dipimpin untuk bergerak.
Setiap Pemimpin yang mampu menggerakkan bukan sekedar kata-kata penyemangat. Tapi ada “dimensi” yang lain yang membuat Rakyat mau Bergerak.
Dimensi yang lain tentu saja aku telusuri. Disetiap tempat kudatangi, pelan-pelan kuperhatikan. Mengapa rakyat kemudian bersedia berjuang bersama ? Apakah ada petuah dan kata-kata yang membakar yang kemudian membuat mereka bergerak ?
Dalam setiap kesempatan, ketiganya menggunakan istilah-istilah yang menggambarkan pandangan mereka tentang sebuah nilai. Kata-kata yang disebutkan sebagai nilai-nilai identitas perekat yang sering disebutkan didalam seloko Jambi.
Istilah-istilah yang disebutkan menggambarkan bagaimana mereka memang dilahirkan dari rahim Rakyat.
Ditengah masyarakat Jambi, kekayaan pengetahuan tentang Seloko memang adalah cara komunikasi yang mampu menjadi perekat. Menjadi komunikasi dan simbol-simbol pesan yang hendak disampaikan.
Kedua. Ketiganya memang dilahirkan dari Keluarga dihormati masyarakat.
Keluarga yang dihormati masyarakat bukan semata-mata bukanlah keluarga kaya atau bangsawan.
Tapi keturunan dan garis Keluarga memang dihormati. Selain mereka menjadi pelindung dalam hubungan sehari-hari juga merupakan keluarga yang menjadi pemimpin ditengah masyarakat.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, cara pandang ini sering disebutkan sebagai “tuah”. Tuah pemimpin.
Cara Pandang “Tuah” dapat dilihat dari garis keturunan, Keluarga besar ataupun cara kepemimpinan ditengah masyarakat.
Sering sekali saya bertemu dengan orang-orang tua di kampung. Dengan berbisik dia selalu bertanya “Kamu anak siapa ?”, tanyanya heran.
Nah, karena hubungan kekerabatan ataupun garis keturunan yang menjadi cara pandang melihat kepemimpinan itulah yang sering disebutkan sebagai “tuah”.
Secara sekilas, temanku pernah berujar. “Tuah” yang dimaksudkan itulah DNA. DNA yang tidak mungkin hilang dan terus diwariskan.
Bukankah anak Harimau akan selalu menjadi Harimau. Walaupun dibesarkan didalam kerumunan kambing sekalipun.
Nah. Cara sesat memandang Tuah itulah sering disebutkan “Nepotisme”.
Padahal ketika memilih pemimpin didesa, yang pertama-tama yang dilihat dari “Tuah”. Bisa disebutkan sebagai “kaum”, “Kalbu”, “guguk”.
Dari Sanalah kemudian dilihat. Bagaimana rekam jejak dari Keluarga besarnya.
Istilah ini juga sering disebutkan dalam alam kosmopolitan Jawa. “Bibit”, bebet” dan “bobot”.
Lihatlah. Siapa yang kemudian menjadi Kepala Desa. Pastilah apabila ditarik ke akar jauh diatasnya. Entah kakeknya menjadi Kepala Dusun, Kepala Kampung, pesirah ataupun pernah menjadi pemimpin ditengah masyarakat.
Nah. Apabila kita menilik ketiganya, so pasti bukanlah bukan dari Keluarga sembarangan. Ketiganya dihormati masyarakat pasti mempunyai keluarga besar yang dihormati ditengah masyarakat. Atau biasa dikenal “bibit”.
Setelah diketahui “bibit” maka kemudian barulah dilihat kapasitas personal. Sekaligus pekerjaan yang telah dilakukan. Cara inilah yang kemudian dikenal sebagai “bobot”.
Cara Pandang masyarakat ketika memilih pemimpin tidak dapat dihindarkan juga dilihat dari ketiganya.
Ketiganya selain dilahirkan dari “rahim” ditengah masyarakat juga memberikan pesan. Mereka dipilih karena memang mereka telah bekerja ditengah masyarakat.
Sehingga tidak salah kemudian warna Walhi tidak akan dilepaskan dari cara Pandang masyarakat ketika memilih.
Dan saya berharap kedepan. Nilai-nilai kekuatan yang ada ditengah masyarakat akan menjadi pondasi penting. SEkaligus menjadikan pengetahuan ditengah masyarakat tentang alam, cara pandang alam Kosmopolitan sekaligus menjadi kekuatan yang tidak terbendung.
Selamat bekerja, Kawan.
Kutunggu medan tarung selanjutnya.