Ada sedikit kebangggan tersendiri. Ditengah kesibukan yang super padat, Edi Purwanto, Ketua DPRD Provinsi Jambi menuliskan pandangannya di media massa.
Yang berjudul “Ikhtiar Penyelesaian Sengketa Lahan di Provinsi Jambi” yang dimuat di Jambi Independent tanggal 6 September 2021.
Memang akhir-akhir ini, disebabkan mobilitas dan kesibukan tersendiri, waktu didepan laptop menjadi berkurang. Sehingga kesempatan browsing di internet sedikit berkurang.
Kembali ke tulisan yang dituliskan oleh Edi Purwanto, secara sekilas, DPRD Provinsi Jambi berkepentingan untuk membuat pansus Konflik di Provinsi Jambi.
Apabila dilihat semangat dari anggota DPRD yang banyak diinisiasi oleh ketua DPRD Provinsi Jambi, keseriusan DPRD dapat dimaklumi.
Pertama. Gedung Parlemen Provinsi Jambi adalah salah satu muara dari berbagai protes dari masyarakat Sipil. Entah berapa kali didalam setahun, berbagai issu nasional maupun konflik yang terjadi kemudian berakhir di DPRD.
Berbagai letupan kekesalan rakyat yang tanahnya dirampas kemudian melakukan protes. Salah satunya ke DPRD Provinsi Jambi.
Data-data inilah yang kemudian menjadi mandat dari Rakyat kepada anggota parlemen untuk dapat diselesaikan.
Kedua. Tidak dapat dipungkiri berbagai tarik menarik Penting atau tidaknya pansus mewarnai proses pengesahan pansus Konflik.
Dinamika anggota DPRD baik yang menolak ataupun memperjuangkan pansus konflik adalah dinamika politik. Dari ranah ini merupakan peristiwa biasa di alam demokrasi.
Namun ketika proses kemudian berujung kepada terbentuknya pansus konflik maka Seluruh perangkat DPRD Provinsi Jambi harus bertanggungjawab untuk menuntaskannya.
Sehingga berbagai kesempatan seperti mengundang para stakeholder seperti OPD, Perusahaan dan masyarakat Sipil kemudian digelar.
Data-data yang diserahkan akan dikompilasi sehingga dapat memberikan gambaran.
Berbagai kunjungan kerja seperti ke Riau dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta adalah bentuk tanggungjawab dari pansus konflik untuk menuntaskannya.
Ketiga. Namun membicarakan konflik di Jambi tidak dapat dipisahkan dari cara pandang masyarakat itu sendiri terhadap konflik, cara pandang terhadap alam sekitarnya, lingkungan dan upaya penyelesaiannya.
Kekuatan didalam penyelesaian justru berangkat dari pendekatan antropologi. Meminjam istilah yang digunakan oleh Edi Purwanto “pendekatan budaya”.
Istilah-istilah seperti seperti “pantang larang”, “tanah pemberian”, “batas tanah”, “tanah terlantar”, “jenjang adat”, “sanksi adat” adalah cara pandang masyarakat itu sendiri.
Penulis berkepentingan untuk menajamkan pemikiran yang telah dipaparkan oleh Edi Purwanto.
Istilah-istilah itu sebenarnya adalah “seloko” yang menggambarkan pengetahuan masyarakat itu sendiri.
Seloko ini tidak hanya menggunakan pendekatan budaya semata. Tapi lebih menukik.
Seloko yang menggambarkan cara pandang masyarakat itu sendiri justru adalah pengetahuan ditengah masyarakat didalam relasi dengan Tanah dan upaya penyelesaiannya.
Justru itulah yang kemudian dikenal sebagai hukum adat. Jadi tidak semata-mata hanya sekedar pendekata budaya.
Berbagai seloko yang telah dipaparkan telah terpatri berdasarkan hukum adat Jambi yang telah dicanangkan oleh Datuk Paduko Berhalo. Yang kemudian dibukukan (dikodifikasi) oleh Sultan-Sultan Jambi.
Istilah yang digunakan oleh Edi Purwanto justru bagian kecil dari Hukum Adat Jambi “induk delapan. Anak dua belas”. Sehingga yang disampaikan Edi Purwanto adalah bagian hukum yang Hidup hingga sekarang.
Namun menggunakan pendekatan yang digunakan masyarakat didalam melihat konflik dan upaya penyelesaiannya adalah bagian penting didalam upaya penyelesaian konflik.
Cara Pandang yang disampaikan oleh Edi Purwanto justru menampakkan kemajuan yang berarti didalam melaksanakan mandat yang telah diberikan oleh Rakyat.
Dengan rentang waktu yang telah ditentukan maka tidak salah kemudian kita berharap. Agar DPRD Tetap menjalankan amanat yang telah diberikan oleh Rakyat.
Selamat bekerja.