27 September 2021

opini musri nauli : Intelektual



Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “Intelektual” dapat diartikan sebagai orang yang cerdas, berakal dan berpikiran Jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Dapat juga diartikan sebagai yang mempunyai kecerdasan tinggi. Atau cendekiawan. 


Intelektual juga dapat diartikan sebagai totalitas pengertian atau kesadaran. Terutama menyangkut pemikiran dan pemahaman. 

Menurut Antonio Gramsci (Gramsci), kaum Intelektual adalah orang yang mempunyai fungsi organisator dalam setiap kehidupan masyarakat. 


Mereka bukan hanya terdiri dari pemikir, seniman ataupun Penulis. Tapi mampu menjadi organisator yang efektif ditengah masyarakat. 


Gramsci kemudian menuliskan Intelektual tradisional dan Intelektual organic. 


Intelektual tradisional kemudian menempatkan para rohaniawan, pendeta, pengacara, dokter dan pengawai pemerintah. 


Sedangkan Intelektual organik kemudian menempatkan para Pemimpin Partai moderat. Termasuk juga Intelektual dan organisator politik, Pemimpin Perusahaan, petani kaya, manager Perusahaan, penguasa komersial dan industri. 


Dalam perkembangannya maka mereka yang kemudian menjadi pendamping dan pengorganisir desa, para CO, Pemimpin ormas Rakyat juga ditempatkan sebagai Intelektual organik. 


Secara lebih luas, Intelektual tradisional kemudian menempatkan para akademisi yang sibuk berkutat dengan berbagai teori, berjarak dengan kondisi ditengah masyarakat ataupun para Peneliti yang sibuk membahas berbagai teori kemudian sebagai Intelektual tradisional. 


Sering juga disebutkan berdiri di menara gading. 


Sedangkan para kaum kelas menengah yang kemudian meninggalkan atribut status kelas menengahnya, kemudian membawa kertas plano, mengambil spidol, berkeliling kampung kesana kemari, menularkan pengetahuan sekaligus mau bersama dengan kelompok dampingannya kemudian disebutkan sebagai Intelektual organik. 


Akhir-akhir ini, ditengah himpitan berbagai tarik menarik diantara kelas menengah Intelektual tradisional berhadapan dengan Intelektual organik kemudian Lahir kelas baru. 


Mereka berduyun-duyun menyelesaikan studinya dengan baik. Bahkan meraih titel tertinggi di kalangan akademisi. 


Namun jangan bermimpi mereka akan menjadi intelektual tradisional. Membuat jurnal, mengisi kolom opini populer ataupun menghasilkan berbagai teori. 


Setiap pembicaraan ataupun argumentasi yang disampaikan sama sekali tidak menampakkan kaum Intelektual sesuai dengan Pendidikan yang telah ditempuhnya. 


Antara satu kata dengan kata lain sebagai argumentasinya sering kali menyulitkan para pendengar untuk mendengarkannya. Bahkan sering kali mengernyitkan muka untuk memahaminya. 


Namun disisi lain ketika bertemu dengan kaum menengah organik yang Tengah bertempur gagasan di Lapangan, setiap pembicaraan selalu menyebutkan dirinya. Lengkap titel yang disandangnya. 


Cara-cara ini mirip sekali dengan tingkah laku pejabat yang gandrung dengan gelar-gelar kehormatan dari sekelompok masyarakat paguyuban. 


Entah pemberian yang memang tulus diberikan karena dedikasinya terhadap pengembangan kegiatan sosial ataupun pemberian yang diberikan semata-mata menjelang hajatan politik. 


Bersilewarannya berbagai mimpi meraih titel ataupun mendapatkan gelar dari paguyuban merupakan sesuatu yang wajar. 


Namun kemudian meninggalkan esensi dari tanggungjawab yang diembannya justru meminggirkan makna dari titel ataupun gelar yang disandangnya. 


Dalam terminologi ilmu sosiologi, cara ini justru menempatkan sebagai Membangun kelas sosial baru. 


Kelas sosial yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan. 


Namun yang justru dilupakan. Yang dibutuhkan bukan sekedar titel ataupun gelar semata. 


Tapi kontribusi pemikiran, andilnya didalam berbagai persoalan. Hingga terlibat dalam persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. 


Advokat. Tinggal di Jambi