Syahdan. Terdengar suara berbisik-bisik di belakang Istana Astinapura. Para dubalang Raja dan punggawa kerajaan bercengkrama usai menemani sang Raja Astinapura mengelilingi negeri Astinapura.
“Tuanku, dubalang Raja. Mengapa Raja Astinapura begitu bermuram durja ? Apakah yang menjadi kegalauan hati sang Raja Astinapura “, tanya punggawa kerajaan heran. Wajahnya menunjukkan kebingungan.
“Tuanku, punggawa kerajaan. Konon hati sang Raja Astinapura sedang masyul. Para adipati yang mengelilingi Raja Astinapura memberikan pertimbangan yang mengganggu hati sang Raja”, jawab sang dulabang Raja.
“Apakah gerangan, tuanku ?”, kembali sang punggawa kerajaan semakin heran. Diambilnya daun sirih dari tembikar. Sembari mengoleskannya. Tradisi menyirih yang menjadi kegemaran para dubalang raja dan punggawa kerajaan.
“Benar, tuanku. Hati sang Raja Astinapura sedang galau. Banyak sekali kabar yang tidak sesuai dengan kenyataan kemudian dikabarkan kepada sang Raja.
Sang Raja mengetahui kabarnya. Namun yang membuat sang Raja semakin gundah. Mengapa para adipati memberikan kabar yang tidak sesuai kepada sang Raja.
Bukankah kemudian sang raja bisa keliru didalam mengambil keputusan “, jawab dubalang raja menunjukkan kekesalannya.
Semuanya kemudian terdiam. Sama sekali tidak menyangka para adipati rela bersikap seperti sengkuni. Bak brutus kemudian menjadi pecundang di kerajaan Astinapura.
“Semoga dewata agung melindungi negeri astinapura”, harap yang Hadir. Sembari berdoa agar negeri astinapura tidak menerima laknat dari Dewata agung.