Akhir-akhir ini, polemik melanda kampus swasta terbesar dan tertua di Jambi menyita publik. Kampus yang dikenal ditengah masyarakat Jambi diwarnai kehebohan yang menyita energi.
Tanpa harus memasuki persoalan sebenarnya, ada baiknya sebelum menilai ataupun melihat persoalan lebih utuh, tidak dapat dipungkiri membicarakan polemik dengan melihat dasar hukum yang melingkupi persoalan yang sebenarnya.
Tema Yayasan adalah tema yang Memang banyak menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pilihan badan hukum Yayasan di sektor Pendidikan dan keagamaan sudah jamak dan menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Termasuk juga sektor sosial seperti Panti asuhan ataupun badan amal.
Pilihan memilih badan Hukum Yayasan juga dikenal di berbagai dunia. Istilah “foundation” sebagai terjemahan resmi yang kemudian dikenal di Indonesia, yang kemudian d Indonesia berupa Yayasan adalah bentuk langsung dari “orang kaya” dunia yang menyaluran dukungan pendanaan.
Menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan/perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat/menggugat di depan hakim.
Berbeda dengan Perusahaan Terbatas (PT) dan Comanditer Venootscaap (CV), Badan hukum berupa Yayasan bertujuan dan bersifat nirlaba (non provit). Sehingga pilihan Yayasan sebagai badan hukum adalah bentuk yang dipilih oleh masyarakat di Indonesia di sektor Sosial. Seperti Pendidikan dan lembaga sosial.
Namun walaupun sudah banyak mengenal yayasan dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat, masih banyak yang belum memahami secara utuh dan memandang yayasan.
Paradigma ini sebenarnya masih berangkat dari cara-cara kurikulum ataupun cara pandang yang keliru menempatkan yayasan dalam ranah hukum.
Sebagaimana diketahui, sebagai subyek hukum dikenal adalah manusia (Naturaliijk persoon). Hanya manusia yang dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Dan hanya manusia yang dapat bertindak mewakili kepentingan hukum.
Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas “sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban komando)
Namun didalam perkembangannya, subyek hukum tidak hanya manusia (Naturaliijk persoon). Tapi juga badan hukum.
Badan hukum dapat mewakili kepentingannya dihukum. Baik mempertahankan haknya maupun menjaga keberadaan badan hukum didalam lalu lintas hukum.
Sehingga badan hukum yang bertujuan dan bersifat keuntungan seperti PT dan CV ataupun badan hukum non provit (nirlaba) dapat menjadi badan hukum.
Yang kemudian didalam hukum dikenal sebagai subyek hukum (recht persoon).
Berbagai regulasi juga meminta pertanggungjawaban badan hukum. UU Korupsi juga mengenal pertanggungjawaban korporasi Bahkan putusan hakim juga bisa menempatkan pertanggungjawaban hukum korporasi dengan menjatuhkan sanksi lebih berat daripada pertanggungjawaban pribadi (Naturaliijk persoon). Putusan hakim juga dapat menentukan status dari badan hukum yang kemudian terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Lihatlah makna yang tegas didalam UU Korupsi “pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara, gugatan terhadap kerugian negara dan penyitaan terhadap aset-aset yang didapatkan dari tindak pidana korupsi”. Bahkan berbagai UU juga “mengamanatkan” apabila korporasi terlibat dalam kejahatan, maka pengadilan “dapat” menyatakan untuk “membubarkan” korporasi yang telah melakukan kejahatan korupsi.
Walaupun kemudian hampir praktis, sama sekali tidak menjadi perhatian penegak hukum. Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan korupsi semata-mata berkaitan dengan pemenjaraan ataupun kerugian negara dan denda.
Begitu juga berbagai regulasi di sektor sumber daya alam yang menempatkan badan hukum sebagai subyek hukum.
Sebagai contoh, badan hukum sebagai subyek hukum berhak mengajukan gugatan yang kemudian dikenal sebagai “legal standing”. Mekanisme mengajukan gugatan dalam Lapangan hukum acara Perdata yang sudah menjadi kelaziman.
Namun Mekanisme kemudian justru mengeliminir hukum acara Perdata sebelumnya hanya mengenal asas Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore.
Mekanisme ini sudah jamak terjadi didalam lapangan hukum acara Perdata. Lihat lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 dan putusan mahkamah Agung No. 546 K/Sip/1970.
Namun dengan berbagai regulias undang-undang kemudian mengelimilir asas “siapa yang dirugikan mempunyai hak menggugat” kemudian dapat ditempuh dengan “legal standing”.
Dengan demikian maka badan hukum sudah menjadi subyek hukum (recht persoon) yang telah dikenal didalam Lapangan hukum acara pidana maupun hukum acara Perdata.
Berbagai pemikiran ataupun cara pandang didalam melihat polemik undang-undang Yayasan semata-mata berangkat dari pemikiran yang keliru. Yang masih menempatkan subyek hukum hanyalah semata-mata hanya manusia (Naturaliijk persoon). Belum Terbuka dengan pemikiran badan hukum sebagai subyek hukum (recht persoon).
Sehingga untuk menambah pemahaman tentang Yayasan tidak dapat dipungkiri materi tentang Yayasan dapat meruju Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.
Didalam UU Yayasan Organ Yayasan sebagai badan hukum terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Dalam operasional sehari-hari, ketiga organ tidak boleh merangkap. Baik sebagai Pembina sekaligus menjadi pengurus.
UU Yayasan kemudian menempatkan Pembina yang berhak untuk perubahan anggaran Dasar,
pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas, penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan, pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan dan penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Organ Pembina dulu dikenal sebagai Pendiri Yayasan.
Sehingga melihat begitu berwenangnya Pembina maka dapat dipadankan dengan “komisaris” didalam badan hukum seperti PT dan CV.
Untuk menjalankan pekerjaan dan tugas Yayasan, maka Pembina kemudian mengangkat Pengurus. Sehingga pengurus yang mempunyai hak mewakili Yayasan. Baik didalam maupun diluar pengadilan.
Redaksi ini mirip dengan UU PT yang mengamanatkan hanya Direktur yang mewakili Perusahaan. Baik didalam maupun diluar pengadilan.
Dalam menjalankan tugas kepengurusan Yayasan, Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan. Atau dengan kata lain Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan Ketua ataupun Direktur ataupun jabatan sehari-hari.
Untuk menghindarkan kepentingan pribadi (conflict of interest) maka tidak dibenarkan Pengurus sekaligus menjadi Ketua/Direktur sehari-hari. Mekanisme ini sudah ditegaskan didalam berbagai putusan Mahkamah Agung.
Lalu bagaimana apabila adanya perselisihan yang terjadi ?
Untuk merujuk siapa saja yang dapat dijadikan pihak didalam perselisihan maka dapat merujuk didalam anggaran dasar/anggaran rumah Yayasan yang kemudian dituangkan didalam Akta Notaris.
Didalam akta kemudian dijelaskan yang hanya dapat menjadi pihak didalam yayasan adalah Pembina, Pengurus dan Pengawas. Organ inilah yang kemudian disesuaikan dengan UU Yayasan.
Mekanisme inilah yang menjadi standing (para pihak) untuk menyelesaikan dimuka hukum. Diluar dari organ yang telah ditentukan, maka pihak yang keberatan tidak dapat dijadikan pihak.
Namun apabila masih terjadi peristiwa diluar dari pihak yang menjadi organ Yayasan maka menggunakan mekanisme hukum diluar UU Yayasan.
Entah mengajukan keberatan dalam Lapangan perburuhan (perselisihan Tenaga kerja) ataupun mekanisme lain.
Tentu saja kita berharap agar polemik yang terjadi di Universitas tertua dan terbesar di Jambi dalam diselesaikan dengan tenang, teduh dan dapat mengayomi kepentingan kampus.
Bukan diseret-seret yang justru mengaburkan dan menjauhkan dari persoalan yang sebenarnya.
Advokat. Tinggal di Jambi