Setelah sebelumnya membahas tentang Hak Guna bangunan dari UU No. 5 Tahun 1960 maka selanjutnya membahas tentang hak Guna bangunan dalam praktek peradilan hukum acara Perdata.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.200 K/Pdt/1988 disebutkan “Dalam Gugatan mengenai sengketa pemilikan bangunan rumah yang didasarkan atas perbuatan hukum jual beli tanah di muka PPAT, maka menurut Hukum Acara si pemilik bangunan rumah yang telah memberi kuasa Mutlak kepada seseorang selaku penjual, maka penarikan pemilik sebagai pihak dalam perkara aquo adalah mutlak perlu dan tidak cukup ia hanya dijadikan sebagai saksi saja tanpa menariknya sebagai pihak Tergugat atau Turut Tergugat, dan dengan tidak lengkapnya pihak Tergugat dalam perkara ini, maka Gugatan ini, oleh Hakim harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Pemegang Hak Guna bangunan harus dilindungi dari suatu (sita) eksekusi dimana pemegang hak tersebut bukan sebagai pihak dalam perkara.
Selain itu juga dapat dilihat didalam Mahkamah Agung RI : No.3089 K/Pdt/1991 “Sita jaminan yang diletakkan diatas sebidang tanah (Rumah) yang salah menyebutkan hak tanahnya, seharusnya tanah Hak Milik No.525/1974, akan tetapi dalam Penetapan Ketua Pengadilan Negeri disebut “Tanah Hak Guna Bangunan” No.577/1968, maka pelaksanaan sita jaminan yang demikian itu adalah tidak sah.
Atau bisa juga dilihat didalam putusan Mahkamah Agung No.1205 K/Sip/1973 yang menyebutkan “Hakim Tingkat Pertama yang mengabulkan permohonan penggugat untuk meletakkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) atas Harta Tergugat : berupa barang-barang tidak bergerak, seperti rumah atau gudang, maka dalam Surat Penetapan Sita Jaminan harus disebutkan dengan jelas, tentang rumah objek yang akan disita jaminan tersebut, apakah hanya bangunan rumahnya saja; ataukah termasuk tanahnya dimana bangunan rumah tersebut berdiri. Hal ini harus jelas dan ditegaskan baik dalam Berita Acara Penyitaan maupun dalam diktum putusan Hakim.
Namun yang unik adalah Putusan Mahkamah Agung No.808 K/Pdt/1989 disebutkan “Sita jaminan terhadap bangunan rumah yang dipergunakan sebagai praktek dokter adalah tidak dapat dibenarkan, karena rumah ini termasuk alat untuk mencari nafkah (mata pencaharian) bagi seorang dokter.
Dengan demikian apabila kita menilik aturan mengatur hak guna bangunan yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1960 maupun dalam berbagai putusan pengadilan (Yurisprudensi) maka mengenai hak guna bangunan mempunyai dimensi hukum yang terpisah dengan hak atas Tanah seperti hak milik maupun hak atas tanah lainnya.
Dengan demikian apabila hak guna bangunan kemudian melekat terdapat hak diatasnya maka dimensi ini harus dipisahkan dan menjadi hak yang terpisah dari tanahnya.
Advokat. Tinggal di Jambi.