12 Januari 2022

opini musri nauli : Juru Ukur

 


Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (online), kata ukur dapat diartikan sebagai “sukat, pengukur atau ukuran”. Kata ukur juga dapat diartikan sebagai “patut, selayaknya dan sudah tentu”. 


Sedangkan orang yang melakukan pengukuran kemudian disebut sebagai “juru ukur”. Entah sebagai orang yang bertugas untuk mengukur jalanan ataupun orang yang sedang menghitung takaran/ukuran tertentu. 

Namun dalam benak saya dan juga sering dipraktekkan dalam bahasa sehari-hari, orang yang suka dan kerjaannya “dak tentu agok (mondar-mandir dan sering dianggap tidak jelas kerjaannya) sering juga diplesetkan sebagai “juru ukur”. Sebagai padanan kata-kata menggambarkan perjalanan kesana kemari. 


Namun sebagai orang yang hobby travelling, adventure, menikmati perjalanan kesana kemari, julukkan “juru ukur” yang sering diplesetkan kepada saya, sayapun mahfum. Sama sekali tidak keberatan. Bahkan lebih mudah menggambarkan sebagai “juru ukur” yang menikmati perjalan kesana kemari daripada disebutkan sebagai “orang dak tentu agok”. 


Sebagai penikmat jalanan, perjalanan yang disebabkan adanya urusan mesti keluar kota ataupun sekedar menikmati liburan, “juru ukur” juga menggambarkan pandangan pelancong (traveling) terhadap jalanan yang dinikmati. 


Sebagai “urat nadi” perekonomian, jalanan adalah akses utama untuk jalur ekonomi. Di jalananlah Seluruh urat nadi perekonomian sama sekali tidak boleh terganggu. Apalagi terputus. 


Sayur-sayuran ataupun daging yang dikirimi dari satu daerah ke daerah lain mempunyai rentang waktu yang terbatas. Sempat saja mengalami gangguan bahkan sempat tidak dapat dikirimi dari satu tempat ke tempat lain justru menyebabkan ancaman terhadap daerah yang didatangi. 


Demikianlah siklus yang harus tetap dijaga.  


Sebagai “juru ukur”, berbagai kemajuan di jalanan dapat dinikmati. Entah jalan yang cepat ditambal ataupun lubang yang terus menganga dan sama sekali tidak diperbaiki. 


Sejak tahun 2000, hampir praktis Seluruh perjalanan ke kabupaten se Provinsi Jambi, terus saya lakukan. Bahkan hampir setiap tahun, saya harus mutar-mutar antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain. 


Entah menikmati jalanan yang bisa semalaman seperti Bangko - Sungai Penuh ataupun kemudian terjebak di seharian di Tembesi - Sarolangun. 


Ataupun harus ke Desa-desa yang termasuk kedalam Kecamatan Jangkat yang harus ditempuh dengan sepeda motor yang bannya harus diikatkan dengan rantai. 


Namun sejak kepemimpinan Gubernur HBA, praktis semuanya dapat ditempuh dengan layak. Jalanan ke Jangkat yang terkenal “angker” malah sudah nyaman dikendarai sedan. 


Sementara Jarak Tembesi - Sarolangun yang jarak tempuh 108 km dan seharusnya ditempuh 2,5 jam namun justru dapat dipacu hanya 1 jam 45 menit. 


Saya pernah merasakan dari bandara STS langsung ke Bangko (mengejar sidang), turun dari pesawat pukul 08.00 dapat dikebut hingga jam 12 kurang. Artinya 3 jam 45 menit. 


Padahal jarak Jambi - Bangko 265 km. 


Waktu tempuh Jambi-Bangko memang rata-rata 4 jam atau 5 jam. Atau dengan kata lain, habis subuh, masih dapat ditempuh ke Bangko sebelum jam 10 sudah santai di bangko. 


Sebelum marak angkutan mobil batubara, hampir praktis sidang di Bangko tidak mesti menginap. 


Namun sejak persoalan angkutan mobil batubara, waktu tempuh 4 jam atau 5 jam tidak memungkinkan lagi. Selain harus hitung waktu (dihindarkan sore hari melewati Tembesi) persoalan angkutan batubara yang sudah dialihkan ke Tempino, kadangkala masih terjebak di Muara Bulian. 


Atau Bangko (Merangin) ke Sungai Penuh dengan jarak 161 km yang dahulu sempat “semalaman” sekarang praktis cuma 4 jam. 


Padahal entah berapa kali harus bersabar di jalanan. Bisa semalaman. Apalagi apabila adanya jalanan yang longsor. Siap-siaplah “ngecamp” di jalanan. 


Praktis sejak 2015, jalanan ke Bangko, ke Kerinci sudah dapat dinikmati dengan nyaman. 


Memasuki tahun 2022, naluri “juru ukur” terus diasah. Jalan ke Bulian melalui Ness Sekarang sudah benar-benar “santuy”. Asyik. 


Eh, belum usai “menikmati” kenyamanan jalan Ness, jalan ke Kumpeh mulai enak dinikmati untuk touring. 


Terlepas masih banyak jalanan yang belum diaspal namun praktis jalanan yang berlubang baik di Desa Tarikan, Desa Arang-Arang, Desa Betung, Desa Pematang Raman Sudah “discrap”. 


Padahal Beberapa Desa yang jalanan berlubang adalah “jalur maut”. Sudah pasti “bemper” mobil sedan bisa bonyok. 


Namun alangkah kagetnya saya. Kayaknya baru awal Desember kesana, jalanan maut masih berlubang namun sekarang sudah rata (walaupun belum diaspal). 


Yang pasti, jalur touring sekaligus “mengetes” motor tua CB 100 tahun 80-an enak digeber. 


Kayaknya Bisa menjadi agenda rutin. 


Ah. Kadangkala bertindak sebagai “juru ukur” itu mengasyikkan. 


Di jalananlah Kita merasakan “arti Pembangunan”. Sekaligus menguji “sikap pemimpin” didalam mengurus rakyatnya. Terutama mengurusi jalan. 


Dan kelebihan “juru ukur” tidak bisa dibohongi. Jalanan yang buruk yang dinikmati dengan “adem-adem ayam’ maupun jalanan yang nyaman dikendarai adalah kenikmatan “touring”. 


Dan saya selalu memilih “jalur” touring untuk menikmati setiap perubahan di jalanan.