Sebelum memasuki pemeriksaan perkara Perdata, berdasarkan ketentuan, para pihak diharapkan dapat menyelesaikan terlebih dahulu diluar Pengadilan. Mekanisme ini kemudian dikenal sebagai Mediasi . Ketentuan ini diatur didalam Pasal 154 HIR/Pasal 130 RBg.
Mahkamah Agung (MA) kemudian menegaskan didalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma MA) No. 1 Tahun 2008 yang kemudian diperbarui dengan PERMA No. 1 Tahun 2016.
Didalam PERMA No. 1 Tahun 2016 disebutkan “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator (lihat Mediasi untuk Perdamaian).
Sedangkan Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Menurut MA, Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada Para Pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.
Oleh karena itu, MA berharap Mediasi sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Menurut MA, Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi (Pasal 4 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2016).
Begitu pentingnya mediasi, maka apabila Mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator.
Advokat. Tinggal di Jambi