05 Desember 2020

opini musri nauli : Mediasi untuk Perdamaian


Masih teringat 10 tahun yang lalu, ketika tema mediasi, negosiasi ataupun berunding dengan pihak pemerintah dan perusahaan menjadi hal yang sangat ditabukan. 


“Tanah kami tidak mungkin dinegosiasikan”, serunya teriak lantang. Selantang suara memekik telinga. 


“Kami tidak mungkin berunding dengan pencuri”, timpalnya yang lain semakin keras. 


Sebagai tema dan pengetahuan yang dianggap asing, mediasi ataupun negosiasi mengalami penolakkan. Berbagai pihak dan jaringan sering meremehkannya. 


Padahal dalam praktek kehidupan sehari-hari, pada dasarnya manusia tidak pernah lepas dari konflik. 


Satu keluargapun sering mengalami konflik. Entah istri dan suami ribut mengenai warna mobil keluaran terbaru. Atau kain gorden menjelang lebaran. 


Bahkan kakak-beradik satu keluargapun tidak juga lepas dari konflik. Entah kakaknya tertua penggemar Barcelona. Ataupun si Bungsu penggemar Real Madrid. 


Sehingga tidak salah kemudian, konflik bagian dari kehidupan manusia. 


Tidak salam kemudian konflik haruslah dikelola. Dan konflik agar tidak berkepanjangan. Meletus dan meledak menghabiskan daerah tertentu. 


Dalam praktek, mediasi juga sering dilakukan. Entah sebagai Ketua RT yang menyelesaikan perselisihan warga mengenai buangan air di got. Ataupun suara sound sistem yang memekakkan telinga di magrib hari. Ataupun hingga larut hari. 


Seorang pemimpin organisasi juga mempunyai kemampuan melakukan mediasi. Entah menyelesaikan persoalan internal didalam organisasinya. Ataupun kemudian harus menyelesaikan yang berkaitan dengan organisasi. 


Begitu juga ketika ada penolakkan besar-besaran ketika 10 tahun yang lalu, tema mediasi dan negosiasi menjadi pilihan taktis didalam melihat konflik sumber daya alam. 


Pelan tapi pasti, tema mediasi mulai menghinggapi wacana public. Entah kebijakan perusahaan yang kemudian memilih menggunakan mediasi untuk menyelesaikan konflik di arealnya. Sebagai protocol untuk menunjukkan keberpihakkan dan penghormatan terhadap HAM. 


Dan 10 tahun kemudian “mimpi” itu terjawab. Tema mediasi sudah menjadi menu kewajiban negara. 


Menjadi “couch” ataupun memberikan catatan pelaksanaan Pelatihan Mediator untuk sektor sumber daya alam adalah mimpi yang mungkin 10 tahun yang lalu sama sekali tidak terpikirkan. 


Namun ketika jariku kemudian kucubit. Akupun tersentak bangun. Ternyata aku memang tidak bermimpi. 


Kenyataan hari ini adalah mimpi panjang. 


Dan akupun teringat kata-kata bijak dari para pelancong yang kutemukan dalam perjalanan. 


“Pemimpi” adalah visioner. Sedangkan follower adalah pengekor.


Sehebat apapun cerita tentang pengekor, dia cuma sekedar follower. Yang tidak pernah mempunyai mimpi dan berani untuk memulai. 


Selamat kepada para pemimpi. 


Kita hidup melewati zaman. 



Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,


Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com