Di suatu acara yang sempat Penulis hadiri, tiba-tiba berderu Suasana demokratis yang rusak. Suasana demokrasi yang baru Saja usai di Pilgub Jambi, Pilkada Kabupaten seperti kabupaten Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kotamadya Sungai Penuh menjadi berjarak dari pandangan pengamat.
Tanpa harus menafikan kritikan terhadap demokrasi langsung terpilihnya Kepala Daerah di Provinsi Jambi, jarak yang jauh antara pengamat dengan suasana dan nuansa demokrasi membuat cara membacanya menjadi “kurang tepat’. Apabila tidak disebutkan sebagai “keliru”.
Harus diakui, hanya di Provinsi Jambi, suasana dan nuansa demokrasi di Jambi mematahkan simbol-simbol kedigdayaan politik. Sekaligus mematahkan “ramalan” maupun “hitungan” dari lembaga survey. Yang sempat mengunggulkan kandidat tertentu. Namun kemudian ternyata telak kalah.
Sebagai bagian dari proses demokrasi, yang menjadi “kekeliruan” sekaligus “cara membacanya” yang keliru terhadap nuansa demokrasi didasarkan kepada semata-mata hanya membaca angka-angka survey yang jauh dari kredibilitas.
Pertama. Yang sering dilupakan oleh pengamat, menurut data-data resmi yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah, hanya 48 % penduduk Jambi yang mempunyai akses internet. Sekaligus mengikuti perkembangan politik dari dunia maya.
Apabila dibaca terbalik, maka justru menempatkan sekaligus “menafikan” angka 52 %, maka pemilihan responden menjadi tidak terwakili didalam metodologi penarikan sampel.
Dari ranah ini saja, maka keterwakilan angka-angka yang disodorkan dan “cara membaca” pengamat menjadi tidak dapat mewakili dari responden yang “bicara politik” di Jambi.
Dengan menafikkan 52 % sekaligus membuat cara penghitungan menjadi telak. Terkalahkan.
Tidak salah kemudian, para kandidat justru meraup suara yang di kisaran angka 52 %. Jauh mengungguli angka-angka survey.
Lihatlah. Bagaimana kemenangan tipis Pilgub Jambi, kemenangan telak Kabupaten Batanghari, kemenangan “tidak terduga” di Kota Sungai Penuh dan tampilnya kandidat diluar perkiraan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Namun tanpa harus melakukan koreksi, cara pandang ini semata-mata tidak diakui. Sehingga cara membaca Pilkada di Jambi kurang tepat untuk dianalisis.
Kedua. Tanpa harus menafikan pilkada seperti di Kotamadya Solo ataupun Kotamadya Medan yang menjadi contoh didalam melihat demokrasi Pilkada langsung, cara membaca yang hanya bersandarkan kepada angka-angka survey membuat cara demokrasi di Jambi luput dari perhatian para pengamat.
Padahal dengan kemenangan telak yang terjadi di beberapa Pilkada di Jambi justru memberikan pelajaran baru. Sekaligus penting melihat demokrasi di Jambi.
Inilah yang luput dari perhatian para pengamat.
Ketiga. Seharusnya kemenangan beberapa Pilkada di Jambi menjadi salah satu tema yang harus dilakukan analisis mendalam.
Mengapa kemenangan tipis diraih di Pilgub Jambi, kemenangan telak Kabupaten Batanghari, kemenangan “tidak terduga” di Kota Sungai Penuh dan tampilnya kandidat diluar perkiraan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat menjadi “irisan” baru.
Dari berbagai pilkada di Jambi justru dengan “irisan” dapat membaca pilkada kedepan.
Mengabaikan kemenangan dan kemudian memberikan nuansa demokrasi yang buruk di Jambi justru dikenal sebagai “logika jumping”.
Salah satu metodologi yang paling ditabukan ketika membaca demokrasi di Jambi.
Terlepas dari seluruh argumentasi yang telah diuraikan, Sudah saatnya metodologi, cara membaca, irisan bahkan logika yang hendak dibangun sesuai dengan konteks kekinian. Dan ketika gagap membaca perubahan maka justru “kelas menengah” menjadi berjarak dengan kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat.
Kelas menengah justru tenggelam dengan “ilusi” sekaligus “terjebak” paradigma keliru didalam melihat ilmu untuk membaca irisan yang terjadi di Pilkada di Provinsi Jambi.
Apakah itu yang hendak diinginkan ?
Advokat. Tinggal di Jambi