18 Maret 2022

opini musri nauli : Alhamdulilah

 


Rasa-rasanya seperti mimpi. Ketika memasuki bandara Sultan Thaha Saifuddin Jambi tidak harus mempersiapkan surat keterangan bebas covid, tidak mengisi aplikasi peduli-lindungi. 


Seakan-akan tersentak dan tersadar. Bahkan serasa tidak percaya. 

Betul. Selama 2 tahun lebih, persiapan ke kota lain-entah menggunakan angkutan darat ataupun angkutan udara, segala sesuatu harus dipersiapkan dengan baik. 


Sudah tidak terhitung lagi, mesti mampir ke klinik, rumah sakit kemudian antri duduk. Bersabar. Menunggu giliran untuk diperiksa (swap). 


Entah sudah berapa tempat yang mesti harus mampir kemudian harus melaluinya. 


Teringat ketika setiap proses harus dilalui. 


Di saat wabah mulai merebak, harus menggunakan sampel Darah apabila melewati bandara. Padahal mobilitas ke Jakarta mutlak dilakukan. 


Teringat persidangan di MK. Mengikuti persidangan dengan rutin. Setiap minggu. Kalaupun banter, bisa dua minggu sekali. 


Bayangkan. Harus periksa darah. Dan mesti dilakukan sehari sebelumnya. Belum lagi hasilnya malah diterima bukan saat bersamaan. Mesti menunggu paling cepat 6 jam. Istilahnya “Ekspress”. 


Siasatpun kemudian dijalani. Ketika disaat bersamaan, apabila menempuh pakai darat, tidak harus menggunakan pemeriksaan medis. Maka jalan daratpun ditempuh. Rutin setiap minggu. 


Pelan-pelan angka covid mulai meninggi. Mulai digunakan sistem “colok hidung” (antigen). Dan disaat bersamaan menggunakan angkutan darat mulai diterapkan antigen. 


Puncak covid semakin menggila. Setelah proses rapid tes untuk pesawat namun menggunakan angkutan darat belum diterapkan, mulai ditingkatkan. 


Pesawat udara mulai menggunakan “swap” (colok hidung) dan angkutan darat kemudian antigen. 


Lagi-lagi covid mulai menggila. Pesawat udara tidak semata-mata menggunakan “colok hidung”. Tapi mulai pula “colok mulut” (PCR). Wuih.. Sakitnya. Sedangkan darat mulai menggunakan “colok hidung”. Suasana ini dirasakan mulai memberatkan. 


Bayangkan. Untuk PCR harus memakan biaya hingga Rp 750 ribu. Dan berlaku cuma 3 hari. Lalu bagaimana dengan perjalanan 4 atau 5 hari. Ya. Terpaksa 2 x. 


Suasana ini dirasakan ketika saya menghadiri pertemuan nasional Walhi di Makassar. Tidak hanya sekali. Tapi bahkan 4 x. Lebih mahal biaya tiket Kesana. 


Sedangkan untuk angkutan darat mesti “colok hidung”. Bayangkan apabila mudik ataupun liburan Keluarga. Begitu repotnya mesti mencari klinik ataupun rumah sakit hanya sekedar memeriksa Kesehatan. 


Suasana berbagai perubahan kemudian semakin meningkatnya angka covid betul-betul dirasakan oleh saya. 


Entah dengan berbagai urusan yang mesti menempuh perjalanan menggunakan angkutan udara ataupun mesti melewati berbagai bandara menyebabkan saya merasakan berbagai perubahan. 


Namun ketika rabu kemarin saya memasuki bandara Suasana yang sempat “menyeramkan” seakan-akan berlalu. 


Tidak ada sama sekali “pemeriksaan” counter untuk aplikasi peduli-lindungi. Bahkan isian aplikasi peduli-lindungi yang semula saya upload malah sama sekali tidak “ditag” di bandara tujuan. 


Berbagai Suasana yang saya rasakan menjadi pengalaman Hidup yang tidak mudah dilupakan. 


Serasa mengingat semuanya, saya hanya berucap. “Alhamdulilah”.