“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” (Tan Malaka)
Disela-sela pertandingan di Motor GP Mandalika, disaat perhatian dunia tertuju melihat suara meraung-raung dari knalpot Motor, tiba-tiba hujan deras kemudian mengguyur aspal balapan. Pertandingan terhenti kemudian sembari menunggu hujan.
DItengah-tengah aspal balapan, tiba-tiba seorang pawang hujan dengan membawa singing bowl, sang pawang hujan kemudian meminta doa kepada Sang Maha Kuasa agar hujan dihentikan untuk melanjutkan pertandingan. Tidak lupa kemudian membawa sesajen, bawang, cabai dan dupa.
Mengutip KBBI Daring, yang dimaksud dengan pawang hujan yakni orang yang pandai menolak hujan. Di Indonesia, pawang hujan banyak dipercaya dapat menghentikan hujan atau memindahkan hujan ke tempat lain.
Menurut Ditjen Kebudayaan Kemdikbud RI beberapa kebudayaan di Indonesia memiliki sebutan yang berbeda bagi pawang hujan, seperti dukun pangkeng bagi masyarakat Betawi, Nerang Hujan bagi masyarakat Bali, dan Bomoh bagi masyarakat Melayu di Riau.
Sebenarnya, pawang hujan sudah lama dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Entah hajatan (perkawinan) ataupun hajatan lain, pawang hujan dibutuhkan.
Menurut studi literasi, salah satunya Tradisi Nyarang Hujan Masyarakat Muslim Banten - Studi di Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang, ritual terkait hujan ini sudah berlaku turun temurun. Saking lamanya, tidak diketahui sejarah awal tradisi yang terus berakar hingga sekarang.
Menurut data berbagai sumber sesajen yang sering diminta pawang hujan untuk menolak hujan seperti Bumbu megono (gudangan) merupakan lukisan bakal (embrio) hidup manusia, Kangkung-manusia semacam itu tergolong manusia linangkung (tingkat tinggi), Cambah - benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh, Kacang panjang- dalam kehidupan semestinya manusia berpikir panjang (nalar kang mulur) dan jangan memiliki pemikiran picik (mulur mungkrete nalar pating saluwir), sehingga dapat menanggapi segala hal dengan kesadaran, Tomat- kesadaran itu akan menimbulkan perbuatan yang gemar maksiat berupaya menjadi jalma limpat seprapat tamat, Brambang- perbuatan yang selalu dengan pertimbangan, Telur yang dilambangkan sebagai wiji dadi (benih), terjadinya manusia, Bayem - karenanya bukan mustahil kalau hidupnya jadi ayem tentrem, Lombok abang- akhirnya akan muncul keberanian dan tekad untuk manunggal dengan Tuhan, Ingkung- cita-cita manunggal itu dilakukan melalui manekung.
Menurut Kajian antropologiUnsur-unsur kebudayaan terdiri dari Sistem Bahasa, Sistem pengetahuan, Sistem kekerabatan, Sistem peralatan hidup, Sistem ekonomi, Sistem religi dan Sistem kesenian.
Koentjaraningrat sendiri menyebutkan Unsur-Unsur Budaya Berupa Bahasa, Pengetahuan, Organisasi Sosial, Peralatan Hidup dan Teknologi, Ekonomi, Religi dan kesenian.
Unsur religi meliputi Emosi keagamaan yang merupakan perasaan dalam diri manusia yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religius. Emosi ini memunculkan konsepsi benda-benda yang dianggap sakral dalam kehidupan manusia.
Selain itu tiga unsur lain yang perlu dipahami selain emosi keagamaan, yakni sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan umat yang menganut religi itu.
Memang akhir-akhir ini, konsentrasi publik diajak untuk selalu berfikir “rasional-logis” didalam melihat segala sesuatu yang terjadi di alam Semesta.
Ajakkan ini kemudian mengeliminir alam kosmopolitan rakyat nusantara yang kemudian dengan angkuh ditempatkan “irrasional-magis”.
Padahal ketika menempatkan “irrasional-magis” semata-mata “perbendaharaan kata-kata” ataupun pengetahuan “rasional-logis” yang tidak mampu menerjemahkannya.
Ketika cara pandang “rasional-logis” yang menjadi “maqom” untuk melihat segala sesuatu dan terjadinya gejala-gejala alam maka terhadap “pawang hujang” dalam peristiwa pertandingan di Motor GP Mandalika menjadi bahan tertawaan. Sekaligus membangun meme yang kemudian menjadi “cara cibiran” terhadap pelaksanaan Motor GP Mandalika. Lengkap kemudian dibumbui dengan tema-tema agama.
Padahal dalam pandangan alam kosmopolitan masyarakat nusantara, kebudayaan yang diwariskan leluhur bangsa Indonesia justru menempatkan sebagai kekayaan nusantara. Menjadi keunikan sekaligus membuktikan bangsa yang agung. Bangsa yang besar yang jauh mengungguli bangsa-bangsa lainnya didunia.
Namun ketika pendidikan yang justru menempatkan cara pandang berbeda yang mengagungkan “rasional-logis” namun kemudian mengeliminir cara pandang masyarakat Nusantara “irrasional-magis”, saya kemudian teringat dengan kata-kata bijak dari Tan Malaka.
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - (Tan Malaka, - Madilog).
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”