Selama sebulan lebih, saya mendapatkan tugas ataupun mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan berbagai Kepala Desa. Dalam catatan saja, saya sudah bertemu dengan 12 orang Kepala Desa.
Entah urusan pekerjaan, menghadiri acara sosialisasi, menggali potensi pengetahuan masyarakat, mempersiapkan materi Peraturan Desa ataupun mempersiapkan bahan-bahan untuk persidangan.
Belum lagi kesempatan bertemu Kepala Desa, yang desanya kemudian dijenguk atau sekedar mampir melepaskan kangen.
Kepala Desa yang bertemu malah di berbagai kabupaten. Entah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Batanghari.
Tidak salah kemudian Bulan Maret saya kenang adalah bulan roadshow Desa. Sehingga pertemuan dengan Kepala Desa merupakan kesempatan emas kalaupun tidak disebutkan sebagai kesempatan langka.
Bayangkan. Harus roadshow dan bertemu dengan Kepala Desa adalah kesempatan langka.
Belum usai bertemu dengan berbagai Kepala Desa, tiba-tiba isu nasional kemudian dihentakkan dengan dukungan dan aspirasi Kepala Desa yang berkumpul untuk “menyuarakan” kepada Jokowi melanjutkan periode ketiga.
Seakan-akan menemukan momentum, isu ini kemudian menggelinding dan menarik perhatian publik.
Terlepas apakah konstitusi memungkinkan untuk melanjutkan periode ketiga ataupun ada masa perpanjangan jabatan Presiden, ataupun tidak kesediaan Jokowi untuk periode ketiga, ataupun perbedaan pandangan dengan suara yang disampaikan, namun dukungan dan aspirasi Kepala Desa tidak boleh diremehkan.
Tidak dapat dipungkiri, posisi dan peran Kepala Desa sangatlah strategis. Adanya dukungan pendanaan dari APBN langsung masuk ke kas Pemerintah Desa membuat Desa kemudian “bersolek”. Mereka terus “mengebut” proyek-proyek fisik ditengah Desa.
Kantor-kantor Desa kemudian “berhias”. Berbagai pelayanan dasar sekarang mudah dilakukan di Desa.
Bahkan ditengah “bisikan” Kepala Desa, seorang Kepala Desa selalu “membawa stempel” di tasnya.
“Agar Mudah masyarakat berurusan. Selain bisa didapatkan tandatangan langsung dari Kades, stempel juga langsung, bang”, kata Kades tersenyum.
Selain itu, posisi strategis Kepala Desa ditengah masyarakat begitu dihormati. Seloko seperti “Pohon Gedang ditengah dusun. Pohonnya rindang tempat beteduh. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat berayun”.
Atau “dilebihkan sekato. Didahulukan selangkah” dan “Tempat pegi betanyo. Tempat balek beberito” adalah muara dari segala persoalan yang terjadi di Desa.
Sebagai pemimpin, dipundaknya mempunyai tanggungjawab yang besar. Seloko seperti “memegang lantak nan dak goyang, cermin nan dak kabur, yang punya anak buah/rakyat banyak, yang memasukkan petang mengeluarkan pagi, Yang memuncak, urek nan menunggang dalam negeri” adalah cerminan tanggungjawab yang begitu besar.
Setiap ucapan, perbuatannya, pandangan, sikap kemudian diikuti orang banyak. Lihatlah setiap bait-bait seloko yang mengikuti terhadap putusan Pemimpin. Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.
Istilah Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah’ menggambarkan pemimpin “pemutus akhir”. Sehingga putusan akhir dapat “menjernihkan aek yang keruh”.
Bayangkan. Selain adanya pelayanan dasar yang harus diberikan ataupun setiap kehidupan sosial yang terjadi di Desa membuat, Kepala Desa adalah “tumpuan” dari segala persoalan.
Posisi yang dihormati ditengah masyarakat juga ditandai dengan Seloko seperti ““Alam Sekato Rajo. Negeri Sekato Batin”. Atau “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Begitu “pentingnya” posisi Kepala Desa, cara pandang masyarakat terhadap Kepala Desa (alam Kosmopolitan) ataupun tanggungjawab yang melekat dipundaknya, menyebabkan “suara” Kepala Desa didalam pertemuan Penting menjadikan “isu” ini menjadi penting.
“Aspirasi”, “dukungan” ataupun “keinginan” dari Kepala Desa menjadi begitu strategis ditengah isu politik sekarang ini.
Tentu saja “tuduhan” ada yang menggerakkan terhadap aspirasi Kepala Desa menjadi “daya Tolak” terhadap aspirasi Kepala Desa.
Namun kemudian mengabaikan ataupun kemudian menolak aspirasi yang telah disampaikan oleh Kepala Desa adalah sebuah keniscayaan dari suara yang berkembang dari Kepala Desa.
Sebagai “ujung tombak” dan wajah pemerintah terkecil, posisi strategis Kepala Desa tidak boleh diremehkan. Suara mereka harus didengarkan.
Ditengah kejumudan politik yang membosankan, dukungan dan aspirasi Kepala Desa adalah “oase” ditengah padang gersang. Bak “oase” dapat menghibur suasana politik ditengah isu perang Rusia-Ukrania.
Dan saya menikmati suara meriah dari gemuruh dari Kepala Desa se Indonesia. Tentu saja tidak lupa berseru “terus berjuang, Para Kepala se-Nusantara’.