Selain diatur didalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, Hukum adat juga telah lama dipraktekkan didalam Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri. Terutama berkaitan dengan hak atas tanah.
Putusan Mahkamah Agung No.222 K/Sip/1954 tegas menyebutkan “Menurut hukum adat di Kayu Agung Palembang, kesaksian kepala marga bukanlah suatu syarat mutlak untuk sahnya jual beli suatu toko.
Lihat juga Putusan Mahkamah Agung No.307 K/Sip/1956 “Suatu putusan desa tentang sawah merupakan suatu bukti yang amat kuat bagi mereka yang dalam putusan desa itu dianggap sebagai yang berhak atas sawah itu”.
Putusan Mahkamah Agung No.327 K/Sip/1976 “Pada umumnya di pulau Jawa, anak angkat cukup terbukti kalau telah diketahui umum yang bersangkutan hidup dengan nyata-nyata sebagai anak orang tua angkat dan melaksanakan kewajibannya sebagai anak.
Atau Putusan Mahkamah Agung No. 329 k/Sip/1957, “Atas izin Kepala Persekutuan Kampung didaerah Tapanuli Selatan, seorang warga memperoleh sebidang tanah secara merimba, namun ternyata kemudian selama lebih dari 5 (lima) tahun, orang yang berhak atas tanah tersebut membiarkan dan menterlantarkannya tidak diurusi dan juga tidak dikerjakan untuk berkebun/bersawah. Dengan fakta yang terbukti tersebut, menurut hukum adat, dapat dianggap/menimbulkan persangkaan; yang berhak telah melepaskan haknya atas tanah tersebut dan Kepala Persekutuan berhak memberikan tanah tersebut kepada warga lainnya.
Baca juga Mahkamah Agung No.2 K/Sip/1983 “Menurut hukum adat, pemilik tanah tidak selalu menjadi pemilik tanaman yang ada diatasnya.
Selain membicarakan tanah, Pengadilan juga mempertimbangkan sistem kekerabatan yang berlaku ditengah masyarakat. Lihatlah putusan Mahkamah Agung No.1686 K/Pdt/1995 “Menurut hukum adat Minangkabau yang bersifat matrilinial, suami tidak berhak atas harta bawaan istrinya, karena harta sengketa terbukti sebagai harta bawaan almarhumah Musalmah Ahmad istri Penggugat, maka Penggugat tidak berhak atas harta bawaan istrinya.