02 Agustus 2022

opini musri nauli : Aksi Cepat Tanggal

 


Beberapa waktu yang lalu, Mabes Polri telah menetapkan tersangka dalam berbagai tindak pidana yang dikelola oleh Aksi Cepat Tanggap”. Tuduhan serius setelah dimuatnya berita investigasi oleh Tempo. 


Angka yang diraup tidak main-main. Sebagaimana diumumkan oleh Divisi Humas Polri, yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT)  mengelola dua anggaran, yaitu anggaran implementasi dan anggaran operasional. Hasil penyidikan menemukan fakta bahwa ACT turut mengelola dana umat setidaknya Rp 2 triliun.Tentu saja irisan Rp 130 miliar dana Boeing. 


Dalam paparannya, dari dana Rp 2 triliun, dilakukan pemotongan setidaknya Rp 400 miliar dengan alasan operasional. Sehingga sejak 2015 - 2019, dasar yang dipakai untuk memotong adalah surat keputusan dari pengawas dan pembina yayasan ACT dengan pemotongannya berkisar 20 sampai 30 %. Angka yang memang tidak main-main. 


Bayangkan. Organisasi donasi mengelola dana Rp 2 Trilyun. Lebih besar dari APBD Kabupaten di Sumatera. 


Angka yang dipotongnya juga tidak main-main. Rp 400 milyar. Atau seperempat dari APBD. 

Melanjutkan pemaparannya, Divisi Humas Polri menyebutkan Total donasi yang masuk ke yayasan ACT, dari 2005 sampai 2020 sekira Rp 2 triliun. Sehingga donasi yang dipotong sekira Rp 450 miliar (25 %) dari seluruh total yang dikumpulkan. 


Dari pemberitaan yang disampaikan oleh Divisi Humas Polri maka dapat dibedah secara hukum. 


Pertama. Menggunakan irisan UU Yayasan, surat keputusan dari pengawas dan Pembina Yayasan ACT yang menetapkan pemotongan sekitar 20 % - 30 %


Sebagaimana diketahui, Indonesia sudah mengatur tentang Yayasan. Baik diatur didalam UU No. 16 Tahun 2001 maupun perubahan UU No. 24 Tahun 2004. 


Didalam Pasal 2 UU No 16 Tahun 2001 disebutkan “Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. 


Namun yang sering dilupakan, menurut pasal 3 ayat (2)  UU No 16 Tahun 2001 “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. 


Sehingga pemotongan walaupun menggunakan mekanisme surat keputusan dari Pembina dan pengawas Yayasan maka bertentangan dengan pasal 3 ayat (2)  UU No 16 Tahun 2001. 


Dengan demikian, upaya pemotongan oleh Pembina dan Pengawas Yayasan mempunyai konsekwensi hukum. Selain tidak dibenarkan berdasarkan UU Yayasan, maka dapat dijadikan momentum untuk ditetapkan status yayasan terhadap penyimpangan terhadap praktek pengelolaan Yayasan. Dan dapat dijadikan “pintu masuk” terhadap proses status Yayasan. 


Lalu bagaimana dengan kegiatan Yayasan yang kemudian melakukan kegiatan “menggalang dana” ?. UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU Pengumpulan) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan secara tegas menyatakan “harus adanya izin dari pejabat “Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1961). Pejabat yang dimaksudkan seperti Menteri Sosial, Gubernur, Bupati/Walikotamadya.  Tentu saja “pengumpulan uang atau barang” tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. (Pasal 3 UU Pengumpulan). 


Didalam pasal 6 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1961 justru menegaskan “Didalam pengelolaan, pembiayaan lembaga donasi hanya dibenarkan 10%. Sehingga terhadap penggunaan melebihi ketentuan diatur maka mengakibatkan “persoalan Yayasan”. 


Pintu masuk ini dapat digunakan oleh lembaga-lembaga yang “menduga” dana umat ternyata digunakan diluar dari ketentuan perundang-undangan. 


Atau dengan kata lain, walaupun adanya “Surat Keputusan” dari Pembina dan Pengawas pemotongan sekitar 20 % - 30 % namun justru bertentangan dengan UU Yayasan itu sendiri dan UU No. 9 Tahun 1961. 


Kedua. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya indikasi transaksi yang diduga berkaitan dengan aktivitas terorisme oleh lembaga ACT. PPATK yang telah menyerahkan hasil pemeriksaan transaksi ACT ke beberapa lembaga aparat penegak hukum, seperti Densus 88 Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


Tuduhan ini serius. Kegiatan yang berkaitan dengan terorisme adalah upaya kriminal yang tidak boleh dianggap remeh. 


Kegiatan mendukung terorisme baik dengan menggalang dana (berkedok urusan umat) ataupun menerima dana dalam kegiatan terorisme harus dibasmi hingga ke akar-akarnya. 


Selain kegiatan mendukung terorisme mengancam kemanusiaan, kegiatan mendukung terorisme adalah upaya segelintir warga negara yang menggunakan saluran Organisasi resmi negara (Yayasan) akan menimbulkan perpecahan tersendiri ditengah masyarakat. 


Sembari menunggu proses hukum terhadap nasib Yayasan ACT juga terhadap para pembina, pengurus dan Pengawas Yayasan, konsistensi perlawanan terorisme harus tetap ditumbuhkan. Sebagai bagian dari tegap tegaknya negara Indonesia. 


Ketiga. Dalam paparannya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyatakan keempatnya dijerat dengan pasal berlapis mulai dari soal penyelewengan dana hingga pencucian uang. 


Lihatlah pasa-pasalnya seperti "Persangkaan pasal tindak pidana penggelapan dan/atau penggelapan dalam jabatan dan/atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan/atau tindak pidana yayasan dan/atau pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP, pasal 374 KUHP, pasal 45 A ayat 1 junto pasal 28 ayat 1 UU No. 19/2016 tentang perubahan UU No. 11/2008 tentang ITE. 


Dengan kegiatan menghimpun dana (walaupun berkedok dana umat) untuk kegiatan-kegiatan pribadi para personil Yayasan, untuk dukungan kegiatan terorisme dan upaya yang canggih untuk mengalihkan asset yayasan dari dana yang terhimpun (money laundry) maka dapat dikatakan sebagai kegiatan yang cukup canggih dilakukan oleh Yayasan ACT. 


Namun berangkat dari teori-teori pengungkapan kejahatan “tidak ada kejahatan yang sempurna”, maka upaya itu akhirnya tercium aparat Penegak Hukum. 


Investigasi yang detail oleh Tempo sekaligus memberikan amunisi tambahan dari Mabes Polri membuat jejaknya kemudian mudah diikuti. 


Kitapun harus angkat topi kepada Mabes Polri yang bertindak cepat sehingga pengungkapan kasus ini dapat menjadi terang benderang. 


Sembari menunggu proses selanjutnya, sudah saatnya berbagai organisasi donasi harus tertib didalam mengelola duit umat. Termasuk tunduk dengan berbagai regulasi UU Yayasan, mekanisme pengumpulan donasi dan penggunaanya. 


Alangkah idealnya, sebagai bangsa yang dikenal sebagai bangsa “Dermawan’ kemudian menyalurkan donasinya kepada Organisasi donasi yang dikenal “transparan” didalam mengelola dananya. 


Termasuk juga didalam mengelola dana umat mengambil “kepantasan” untuk operasional Organisasi. Tanpa harus memperkaya diri sendiri dan menjadi asset kepentingan pribadi para pengurusnya. 



Advokat. Tinggal di Jambi