Usai sudah Pemeriksaan terhadap terdakwa kasus Pembunuhan paling menghebohkan. Para Terdakwa kemudian dituntut hukuman seumur hidup, 12 Tahun penjaran dan 8 Tahun penjara.
Terlepas dari telah dituntutnya oleh JPU terhadap terdakwa tidak dapat dihindarkan berbagai polemik yang terjadi ditengah masyarakat.
Sebagai Negara hukum yang menjunjung kebebasan berpendapat sebagaimana diatur didalam konstitusi berbagai polemik, pendapat ataupun perhatian publik melihat kasus ini menggambarkan Sudah terbangunnya kesadaran dari publik mengenai kasus hukum.
Aparat penegak hukum tidak dapat menghindarkan dari berbagai polemik dengan cuma bersandarkan kepada kewenangan yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.
Aparat penegak hukum harus tetap mendengarkan suara nurani dan Keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
Tanpa harus terlibat didalam polemik sekaligus “mempertanyakan” ketidakadilan atau keadilan terhadap tuntutan JPU terhadap terdakwa, banyak sekali tema-tema hukum yang menarik untuk didiskusikan. Baik didalam ranah ilmu pengetahuan hukum maupun dalam praktek peradilan.
Tema-tema hukum terlalu sayang dilewatkan. Selain memberikan pembelajaran ditengah masyarakat juga membangkitkan kesadaran hukum. Sekaligus kontrol publik terhadap penegakkan hukum oleh aparat penegak hukum.
Catatan Kecil yang dihadirkan semoga dapat memberikan pandangan yang dapat membantu didalam menguraikan sekaligus cara pandang perkara pembunuhan yang paling menghebohkan.
Aktor dan Pelaku
Menarik sekali uraian JPU didalam tuntutan yang menempatkan FS sebagai aktor (Intelektual dader) dan RE sebagai pelaku utama (plegen).
Ketika PC, RR dan KM sebagai “orang mengetahui” dan kemudian dituntut lebih ringan dari RE justru menjadi kesempatan kita untuk “membedah” perkara ini.
Namun apabila ditelaah sekaligus uraian yang disampaikan JPU, justru PC yang “menjadi” aktor penting didalam terjadinya peristiwa “pembunuhan”. Sehingga PC dan FS justru ditempatkan sebagai “aktor (Intelektual dader)”.
Pertemuan di Lantai 3, terlibat aktifnya PC didalam “merencanakan”, memastikan “sarung tangan” dan CCTV ketika bertemu dengan RE justru menempatkan PC terlibat aktif dan menjadi bagian penting dengan FS.
Sehingga “kurang tepat” hanya menempatkan PC hanya sebagai “orang mengetahui”.
Dengan demikian maka PC dan FS justru ditempatkan sebagai “aktor (Intelektual dader).
Keadaan Memaksa
Tema ini sempat terlontarkan oleh Menko Polhukam ketika kasus ini mulai meruyak di Tengah publik. Tema ini sempat juga disentil para Ahli hukum.
Secara sekilas tema ini dapat “menjernihkan”.
Namun didalam Yurisprudensi sekaligus didalam berbagai literatur, tema “keadaan memaksa” lebih tepat dicontohkan setelah peristiwa Kapal tenggelam.
Kemudian terdapat dua orang yang selamat dan kemudian terapung-apung di lautan. Sementara terdapat sebuah pelampung yang hanya cukup untuk satu orang.
Maka orang yang “berebut” kemudian berhasil mendapatkan pelampung ternyata harus harus mengorbankan orang lain.
Tema ini cukup banyak sekali diulas oleh para Ahli.
Namun “keadaan memaksa” harus menempatkan sang pelaku sama sekali tidak ada pilihan untuk melakukan perbuatan tersebut. Sehingga dia kemudian dapat dibebaskan dari hukuman pidana disebabkan semata-mata untuk “menyelamatkan diri” sekaligus tidak ada upaya lain.
Apakah tema ini tepat digunakan oleh RE ?
Saya sama sekali pesimis tema ini digunakan didalam kasus ini. Walaupun secara kasat mata persyaratan dapat diterapkan kepada RE, namun “upaya” RE yang sama sekali mempunyai kesempatan untuk “menghindarkan” seperti terdakwa RR maka tema ini kurang relevan digunakan.
Perintah Atasan
Secara sekilas memang ada hubungan atasan antara FS dan RE, RR dan KM. Namun terhadap “perintah atasan” semata-mata berdasarkan administrasi birokrasi di Kepolisian.
Perintah atasan yang digunakan dalam contoh didalam Yurisprudensi adalah “perintah atasan” terhadap regu penembak terhadap terdakwa hukuman mati.
Sang Eksekutor regu Tembak tidak dapat dipersalahkan menggunakan senjata api, menembak hingga matinya orang lain.
Sang Eksekutor yang menerima perintah atasan untuk “menembak” mati terdakwa adalah “perintah atasan” yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Biasa dikenal dengan eksekusi hukuman mati.
Namun diluar daripada itu, walaupun atasan dari sang penembak sama sekali tidak diberikan wewenang untuk melaksanakan “perintah tembak” dan mengakibatkan matinya orang lain. Apabila dalam keadaan normal.
Namun disisi lain, banyak para Ahli kemudian menggunakan tema ini, saya menunggu bagaimana analisis dan pertimbangan hakim didalam memutuskan perkara ini.
Tanpa harus mendahulukan putusan hakim, perintah atasan yang dimaksudkan sudah banyak disebutkan didalam Yurisprudensi dan berbagai tema jurnal.
Barang bukti dan Alat bukti
Didalam berbagai keterangan ahli, masih banyak sekali para Ahli yang sering keliru menempatkan barang bukti dan alat bukti.
Apakah senjata api, hasil visum, Forensik, CCTV, darah, hasil Psikologi Forensik semata-mata ditempatkan sebagai barang bukti.
Lalu bagaimana kekuatan barang bukti ?
Didalam hukum acara Pidana, Hakim menjatuhkan hukuman semata-mata berdasarkan alat bukti ? Bukan barang bukti.
Lalu dimana kekuatan barang bukti ? Barang bukti mempunyai nilai apabila kemudian diterangkan para saksi. Nah, saksi inilah yang kemudian dikenal sebagai alat bukti.
Lalu bagaimana barang bukti kemudian tidak dapat diterangkan oleh saksi atau ahli. Barang bukti yang sama sekali tidak diterangkan para pihak malah dapat dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Salah satu “kelebihan” hakim yang jeli melihat fakta-fakta persidangan.
Bahkan hakim dapat menempatkan barang bukti sebagai “keyakinan hakim”. Salah satu Dasar penjatuhkan hukum yang disebutkan “dua alat bukti dan keyakinan hakim”. Demikian KUHAP menerangkannya.
Jadi kekuatan pembuktian di persidangan pidana berdasarkan alat bukti. Bukan barang bukti.
Tentu saja Masih banyak sekali catatan Kecil selama proses persidangan. Namun catatan ini sekaligus akan menjadi penilaian hakim didalam pertimbangan dan putusannya.
Mari kita simak sembari menunggu putusan Hakim
Advokat. Tinggal di Jambi