19 Januari 2023

opini musri nauli : Simulasi Putusan Hakim Kasus Pembunuhan

 

Akhirnya JPU telah menjalankan tugas menuntut para terdakwa dalam kasus pembunuhan paling menghebohkan. 8 Tahun untuk terdakwa RR, terdakwa KM dan terdakwa PC. Seumur Hidup untuk FS dan 12 tahun untuk RE. 


Reaksi dan polemik kemudian mengharubirukan jagat dunia maya. Ibu korban sama sekali tidak terima. Sedangkan publik menyesalkan mengapa RE malah lebih berat dari terdakwa RR dan terdakwa KM. 

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada JPU yang telah menjalankan tugasnya, polemik yang terjadi harus diletakkan dalam bingkai hukum acara Pidana. Dengan mendudukkan dan cara pandang yang obyektif, persidangan dapat dilihat lebih utuh. 


Pertama. Didalam hukum acara Pidana maupun berbagai putusan Yurisprudensi tegas menyatakan. Hakim “memeriksa dan mengadili” perkara berdasarkan Surat Dakwaan. Dulu dikenal dengan tuduhan. 


Dengan berpedoman kepada surat dakwaan maka terhadap tuntutan JPU sama sekali tidak mengikat putusan yang hendak diambil oleh Majelis Hakim. 


Misalnya mengenai Surat dakwaan mengatur tentang pasal-pasal pembunuhan maka penilaian terhadap peristiwa pembunuhan itulah yang menjadi pedoman hakim didalam melihat perkara yang Tengah disidangkan. 


Majelis hakim mempunyai pertimbangan tertentu terhadap fakta-fakta persidangan. Didalam Yurisprudensi tegas menyatakan. Terhadap penilaian terhadap fakta-fakta persidangan merupakan ranah “independensi hakim” dan “kemandirian atau kemerdekaan” hakim. 


Didalam Putusan hakim, hakim dapat “membebaskan” atau “melepaskan” terdakwa, menjatuhkan putusan diatas tuntutan JPU atau bahkan menjatuhkan putusan jauh lebih rendah dari tuntutan JPU. 


Dengan demikian maka hakim sama sekali tidak terikat dengan Surat tuntutan JPU. 


Kedua. Terhadap perbuatan RE yang menjadi pertimbangan hakim dapat diuraikan dengan melihat apakah perbuatan terdakwa dapat dikategorikan “perintah atasan” sebagai alasan “pembenaran” perbuatan terdakwa RE. 


Apabila hakim dapat memberikan pertimbangan yang layak untuk menganalisis “perintah alasan” sebagai alasan pembenar sebagaimana diatur didalam KUHP, maka terdakwa dapat dinyatakan “dibebaskan”. 


Sebagian kalangan justru menyatakan “lepas demi hukum”. 


Perbedaan Ahli hukum menarik untuk ditelaah. Apakah terhadap adanya alasan “perintah jabatan” sebagaimana diatur didalam KUHP kemudian terdakwa “dibebaskan” atau “dilepaskan” ? 


Saya kemudian “memilih” untuk menyatakan “bebas demi hukum (vrijpaark) dengan menggunakan teori “kesalahan” dan “pertanggungjawaban pidana”. 


Artinya terhadap “orang dinyatakan bersalah” (teori kesalahan) namun terhadapnya kemudian dengan alasan “perintah jabatan” sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan (teori pertanggungjawaban) maka dapat dinyatakan “bebas demi hukum”. 


Namun argumentasi “adanya kesalahan” namun dinyatakan “lepas demi hukum” dari posisi ini juga dapat dimengerti. 


Uraian diatas sekaligus membantah penggunaan alasan “overmacht” yang sering disampaikan didalam debat-debat di televisi termasuk para pesohor yang mencoba menggunakan teori ini. 


Ketiga. Lalu apakah alasan “perintah jabatan” sudah memenuhi persyaratan untuk diterapkan kepada terdakwa RE. 


Sebagian fakta-fakta yang jelas disampaikan di persidangan maka menurut penulis layak disandangkan kepada terdakwa RE. 


Misalnya pertanyaan Hakim ketika memulai pemeriksaan keterangan terdakwa RE. Melihat latarbelakang pendidikan diterangkan “Didalam pelatihan-pelatihan, hanya menjalankan perintah. Di Level pangkat RE hanya menjalankan perintah. Tidak menganalisa atau mengatur strategi”. 


Atau berbagai pendapat Ahli (baik psikologi Forensik maupun ahli kriminologi) yang menyebutkan “usia” dan “perintah menggunakan simbol (seragam dari pemberi perintah - baca FS)” justru menempatkan RE memenuni persyaratan untuk dikategorikan “perintah jabatan”. 


Cahaya terang inilah yang menarik ditunggu didalam putusan hakim. 


Namun disisi lain, terhadap “perintah jabatan” dilihat dari konteks faktor eksternal yang dapat memenuhi persyaratan kemudian diterapkan “alasan perintah jabatan” justru “adanya” kesempatan dari terdakwa RE untuk “menolak”. 


Didalam berbagai jurnal sering disampaikan perumpamaan contoh penggunaan “perintah jabatan”. Misalnya “regu tembak” terhadap terdakwa hukuman mati. 


Maka sang regu Tembak dapat diterapkan “perintah jabatan”. “Perintah jabatan” untuk menembak kemudian mengakibatkan matinya “seseorang”, maka sang regu Tembak tepat dikenakan “perintah jabatan”. 


Namun apapun yang kelak diputuskan hakim, namun “pertimbangan hakim” didalam menilai peristiwa dan fakta-fakta persidangan justru menarik perhatian. Dan menjadi “lakon” yang ditunggu-tunggu bagi penulis. 


Mengenai “masa hukuman (straftmaacht)” semata-mata menjadi “penilaian subyektif” yang tetap diletakkan bingkai “menghormati putusan hakim”. 


Mari kita tunggu dengan bersabar terhadap putusan Hakim. 




Advokat. Tinggal di Jambi