Usai sudah keterangan terdakwa didalam perkara pembunuhan yang “menghebohkan” sejagat negeri. Seorang Jenderal aktif, posisi strategis di Kepolisian dan seorang perempuan Dokter Gigi - sang istri kemudian didakwakan Pasal 340 KUHP (Pasal pembunuhan “berencana).
Terlihat kepanikkan “luar biasa” dari keduanya. Posisi strategis sekaligus Penasehat hukumnya yang sering kali “terjebak” dengan pertanyaan sendiri justru “menggali” lubang kuburan lebih dalam.
Strategi mengaungkan “motif” dan “unsur merencanakan” yang begitu dominan malah kemudian tenggelam didalam fakta-fakta persidangan. Justru fakta-fakta persidangan tidak dapat menutupi strategi yang selama ini dimainkan.
Sebenarnya, ketika Kepolisian “berani” menetapkan sang Jenderal dan istri sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), saya sendiri yakin dengan kinerja Kepolisian.
Sebagaimana Sudah sering saya sampaikan, didalam kasus pembunuhan (apabila tidak ada rekayasa dan intervensi), adalah kasus yang paling Mudah diungkapkan.
Tidak salah kemudian yang disampaikan oleh Mahfud MD, Menteri Polhukam, didalam kasus pembunuhan, pengungkapan kasus pembunuhan bahkan mampu diungkapkan di level Polsek. Tidak perlu sampai ke Polresta, Polda apalagi Bareskrim Polri. Sehingga sejak awal saya sudah berkeyakinan kasus ini akan Mudah diungkapkan.
Tentu saja ketika Bareskrim Polri kemudian mengungkapkan kasus yang menghebohkan ini, terlepas “begitu lama” diungkapkan, namun semuanya menjadi terang benderang ketika diumumnkan Jenderal aktif beserta istrinya sebagai tersangka kasus pembunuhan. Dari posisi ini, saya tetap klir memandang peristiwa ini.
Namun sebagai “pembelajaran” sekaligus melihat kemampuan Hakim didalam menggali keterangan, kepiawaian Jaksa penuntut Umum dan Penasehat hukum didalam membongkar kasus ini, setiap detail dari persidangan tetap menarik perhatian saya.
Dalam kesempatan ini saya hendak berbagi cerita tentang pandangan saya didalam melihat kasus ini.
Sebagai sebuah cerita tentu saja yang menarik perhatian saya terutama didalam melihat bagaimana “misteri” sekaligus pertanyaan publik selama ini berusaha saya “kikis”. Sehingga dapat Melihat kasus ini dengan lebih utuh.
Merencanakan
Terlepas dari keterangan terdakwa sang istri yang sama sekali tidak mengakui “terlibat” didalam merencanakan dan kemudian didukung sang , namun dengan adanya keterangan saksi RE, saksi RR dan keterangan terdakwa sekaligus melihat tayangan CCTV justru terbantahkan.
Mari kita mulai uraikan satu persatu. Ketika sang istri bercerita hendak “isoman” dari rumah pribadi di Sahguling ke ruman dinas Duren Sawit 3, lalu mengapa setelah penembakkan justru sang istri kembali ke rumah pribadi di Sahguling. Tayangan CCTV jelas menayangkan adegan penting ini.
Tema ini sama sekali “kurang tergali’.
Namun dengan “enteng” sekaligus “tenang” sang istri menaikkan mobil disupiri oleh terdakwa RR membuktikan, sang istri sama sekali “tidak terusik” dengan peristiwa “pembunuhan” di rumah dinas Duren Sawit 3. Beberapa saat setelah peristiwa terjadi.
Keterangan saksi RR, saksi RE dan CCTV justru menempatkan sang istri justru “terlibat” dan menjadi bagian penting dari kasus pembunuhan.
Tidak salah kemudian Bareskrim tetap menempatkan sang istri sebagai terdakwa didalam kasus ini.
Saya berkeyakinan, terhadap sang istri akan sulit lepas dari kasus ini.
Kedua. Alibi sekaligus cara mengelak RR sebagai pelaku justru terbantahkan sendiri dengan keterangannya sendiri di persidangan.
Setelah dia “mengelak” dan tidak mau “membunuh” namun justru “memanggil” RE untuk melaksanakan perintah sang Jenderal justru menggali lubangnya sendiri.
Bahkan tidak tanggung-tanggung. RR dan MK justru yang memanggil korban dan membawanya ke sang Jenderal yang Sudah menunggu di ruangan. Dengan juga telah adanya terdakwa RE.
Dengan demikian maka terdakwa RR dan terdakwa MK justru menjadi bagian dari “komplotan” pelaku pembunuhan.
Lalu siapakah “otak (dader Intelektual)” dari peristiwa ini ?
Cara dan strategi Penasehat Hukum yang begitu panik untuk melepaskan sang Jenderal justru kontrapoduktif dengan berbagai fakta-fakta persidangan.
Kesaksian “penting” dari terdakwa RE seperti sang Jenderal memerintahkan terdakwa RE untuk “menembak”, “mengisi magasin” dan menggunakan sarung tangan menempatkan sang Jenderal tidak dapat mengelak.
Begitu juga keterangan terdakwa RR yang “pernah” meminta kepada terdakwa RR untuk “menembak” sang korban - walaupun kemudian terdakwa RR menolak - justru menempatkan sang Jenderal begitu strategis.
Namun yang paling menarik adalah “disitanya” senjata api milik korban oleh saksi RR. Kejadian yang terjadi sebelum hari peristiwa terjadinya pembunuhan.
Beberapa saat sebelum pembunuhan, sang Jenderal memanggil terdakwa RR untuk menanyakkan senjata api milik korban.
Terdakwa RR kemudian turun dan mengambil senjata api milik korban dan kemudian menyerahkannya kepada sang Jenderal.
Walaupun sang Jenderal sama sekali tidak mengakui fakta ini, namun lagi-lagi sang Jenderal “terpeleset” omongan sendirinya.
Peristiwa setelah ditembak oleh terdakwa RE, sang Jenderal kemudian melakukan “penembakkan” ke dinding rumah. Baik ke arah dinding atas mengikuti anak tangga maupun arah dinding diatas TV.
Lalu sang Jenderal kemudian meletakkan senjata api di tangan korban. Seolah-olah korban “menembak’ dan membuktikan skenario “tembak menembak”.
Sang Jenderal “terpeleset’. Mengapa tiba-tiba “ada senjata” milik korban ? Padahal sang Jenderal tadi mengakui sama sekali tidak mengetahui cerita tentang senjata api milik korban.
Misteri ini sama sekali kurang digali.
Namun walaupun sang Jenderal tetap membantah cerita tentang senjata api milik korban namun dengan akhir cerita kemudian bercerita kemudian meletakkan senjata api di tangan korban, secara tidak langsung justru sang Jenderal mengakui senjata api milik korban berada ditangannya. Kemudian meletakkan ke tangan kiri korban.
Tentu saja banyak sekali cerita menarik yang terlalu sayang untuk dilewatkan.
Namun lagi-lagi teori usang kriminologi semakin kokoh mendapatkan pondasinya.
Ujaran seperti “setiap kejahatan meninggalkan jejak”. “Tidak ada kejahatan yang sempurna”, justru menemukan benang merah yang terang benderang.
Meminjam idiom klasik, bukti peristiwa haruslah “seterang matahari’ semakin terkuak di persidangan.
Tidak salah kemudian kelima orang yang didakwakan kasus pembunuhan “berencana” akan sulit melepaskan diri dari hukum. Mengenai bagaimana kesalahan yang dilakukan dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban akan saya tuliskan didalam edisi yang terpisah.
Semoga cerita ini akan kita saksikan didalam Tuntutan Jaksa penuntut Umum dan akhir Putusan hakim.
Sembari ngopi, Mari kita tunggu lakon selanjutnya.