Ketika diumumkan “incumbent” Siti Nurbaya Bakar (SN) untuk menduduki jabatan sama, terbayang “agenda” utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perhutanan Sosial (PS), Kebakaran dan Gambut.
Namun tema PS yang menarik perhatian. Tema yang kemudian menjadi “slogan” dengan mencanangkan 12,7 juta ha (RPJMN 2015-2020). Slogan ini kemudian digunakan Jokowi hingga menjelang detik-detik kampanye terakhirnya. Jokowi.
Tema seperti “kebakaran” dan Gambut kemudian tenggelam. Bergantian dengan issu “pasang plang” dan gugatan yang diterima berbagai tempat. Termasuk juga surat edaran yang bikin heboh.
Suka atau tidak suka, tema PS adalah salah satu tema yang paling menjadi perhatian para aktivis dan organisasi masyarakat sipil 5 tahun terakhir. Agenda yang paling banyak “dikerumuni” dan paling banyak juga dijadikan program-program jangka panjang.
Sebagai “orang perencana pembangunan”, SN berhasil mendesaian “roadmap” PS. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan PS kemudian bermuara P.83. Sebuah terobosan dan menjadi kodifikasi dari berbagai peraturan lainnya seperti Hutan Desa (Permenhut No. P.89/2014), Hutan Tanaman Rakyat (Permenhut No. P.55/2011), Hutan kemasyarakatan (Permenhut No. P.88/2014) dan Kemitraaan Kehutanan (Permenhut No. P.39/2013).
Tema PS mengingatkan penulis 13 tahun yang lalu. Ketika penulis bersama-sama dengan organisasi lingkungan Hidup di Jambi mengusung “hutan Desa”, sebagai “jawaban taktis” menyelamatkan 49 ribu ha didataran tinggi Jambi.
Polemik mulai bermunculan. Jaringan nasional “mencibir” keputusan dari Jambi. Bahkan kalimat-kalimat “menyakitkan” masih terngiang ditelinga sampai sekarang.
Kalimat-kalimat seperti “Ngapaian harus mendukung konsep negara”, “tanah milik rakyat. Tidak bisa dinegosiasiakan”, “Tanah harus berdaulat”, “Walhi tidak boleh masuk kedalam skema negara”. Bahkan kalimat seperti “Hutan Desa” akan mendukung Perubahan iklim.
Saya ingat persis yang mengucapkannya. Dan 5 tahun kemudian saya menjadi tertawa. Mereka-mereka yang mengucapkannya, sekarang malah menjadi “pelaku utama” dari konsep yang semula ditentang. Merekalah yang kemudian mendapatkan “guyuran dollar” dari funding.
Bahkan mereka pula yang sekarang menjadi “benteng” dari PS yang digulirkan Jokowi pada awal pemerintahan periode pertama.
10 tahun kemudian program PS kemudian menjadi unggulan. Menjadi pembicaraan diberbagai forum. Kembali saya tertawa. Menertawakan “kebodohan” saya.
Tidak salah kemudian tema perhutanan sosial menjadi salah satu “leading” dari issu PS.
Cara jenius ini kemudian dilihat dari pernyataan Eknas Walhi "Terlepas dari pro dan kontra dikalangan organisasi masyarakat sipil, Walhi memandang kebijakan ini penting untuk diintervensi dengan memperhatikan tiga urgensitas. (Nur Hidayati, Direktur Walhi, 2019)
Namun berbeda dengan pendukung lainnya, konsep PS adalah “strategi taktis’. Bukan satu-satunya desain untuk berpihak kepada rakyat. Tema besar “wilayah kelola rakyat” adalah maqom yang masih dipegang teguh dalam keputusan-keputusan Walhi.
Kritik mendasar kemudian dituliskan Walhi didalam buku “Studi Efektifvitas Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Selama Periode Pemerintahan Jokowi-JK”, Walhi, 2019.
Didalam perjalanannya kemudian dari target 12,7 juta ha, hingga Oktober 2022, baru terealisasi 5,08 juta ha. Dengan capaian 1.12 juta KK dan 7.694 Unit SK.
Untuk memudahkan didalam melihat capaian PS, maka dapat dilihat sebagai berikut. Pertama. Proses pengajuan PS masih “terjebak’ dengan konsesi kehutanan. Selain proses pengajuan PS yang kemudian ditolak justru mengakibatkan “keengganan” masyarakat mengajukan usulan PS. Bahkan dibeberapa tempat, justru malah tidak dapat dilakukan verifikasi terhadap usulan PS.
Kedua. Regulasi yang masih menempatkan – meminjam istilah Walhi - “perusahaan monokultur” sebagai “pemain utama’. Dengan menempatkan perusahaan monokultur menyebabkan seluruh proses pengajuan PS kemudian “mentah”.
Padahal perusahaan inilah yang menjadi penyumbang utama dari berbagai konflik disektor kehutanan.
Dengan mengabaikan masyarakat, maka kemudian regulasi menempatkan “ketidakadilan” ditengah masyarakat.
Paparan ini kemudian bisa menjelaskan mengapa capaian hanya 5 juta ha. Jauh dari target 12,7 juta ha.
Namun disisi lain, program PS adalah “stimulus” dari problema konflik disektor Kehutanan (Walhi menggunakan istilah “target antara (intermediate objective)”.
Terlepas dari polemik dan perdebatan, stimulus merupakan harapan masyarakat yang masih menggantungkan didalam dan disekitar kehutanan.
Konflik yang berkepanjangan dan terus diwariskan turun temurun, sudah saatnya konflik diakhiri.
Program PS yang digaungi 13 tahun lalu dan akan dilanjutkan tahun terakhir adalah harapan. Ditengah berbagai sumbatan yang macet, peluang ini dapat digunakan sebagai “target antara/intermediate objective”.
Sembari “memperkuat” masyarakat agar mampu mengakses pengajuan PS, sikap kritis terhadap implementasi PS tetap dilakukan.
Namun didalam melihat Perhutanan sosial di lahan gambut harus dilihat lebih utuh.
Untuk mendukung Program Perhutanan sosial harus tetap mengedepankan gambut sebagai basis material.
Sebagaimana diketahui, istilah gambut kurang dikenal. Di Sumsel dikenal “rawang hidup”. Ada juga menyebutkan “Lebak Berayun”. Di Jambi dikenal “Payo” atau “payo dalam”. Di Papua dikenal “tanah goyang”. Di Kalbar dikenal “tanah sapo”. Bahkan di Kalsel malah dikenal “Tanah Irang”.
Di Jambi ekosistem dikategorikan sebagai “hutan hantu pirau”. Di Kalteng dikenal “Gulung hampar”. Penghormatan terhadap “hutan hantu pirau” atau ” Gulung hampar” Melambangkan kebudayaan, cara pandang, penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam. Sebagai daerah konservasi.
Nama-nama tempat seperti “Buluran muning darat, Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing, Buluran buang, Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang, Bidawang, Lintas Panjang adalah nama-nama tempat untuk tempat mencari kayu alam atau tempat masyarakat mencari ikan. Selain itu juga dikenal nama tempat masyarakat mencari rotan, madu, jelutung dan pandan.
Cara pandang, tata ruang masyarakat tentang gambut menjadi “best practice” yang ditempatkan sebagai bagian penting didalam menempatkan sebagai basis utama didalam menentukan bentuk/model Perhutanan sosial.
Kekuatan sesungguhnya kemudian diatur didalam Peraturan Desa. Baik sebagai wilayah proteksi maupun sebagai bagian dokumen pengajuan perhutanan sosial,
Apabila gambut ditempatkan sebagai Kawasan esensial maka melihat regulasi didalam Perhutanan sosial, model ataupun bentuk Perhutanan sosial lebih tepat adalah Hutan Adat, Hutan Desa dan Kemitraan Konservasi.
Sudah saatnya wacana polemik dikurangi. Sudah saatnya kita mengambil GPS, meteran untuk “memperkuat” masyarakat didalam memastikan “wilayah kelola rakyat”.
Mari kita berkejaran waktu. Agar konflik dapat dikurangi. Dan generasi kedepan dapat memastikan hak-haknya.