Walaupun perceraian adalah dimensi kehidupan yang seharusnya dihindarkan namun apabila terjadinya perceraian maka terdapat persoalan hukum yang harus diselesaikan
Pertama. Harta Bersama (Harga gono-gini).
Didalam Hukum Islam yang kemudian diadopsi didalam UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan kemudian disidangkan di Pengadilan Agama, berbagai persoalan telah tegas dicantumkan.
Klaim “sang suami” yang mencari nafkah dan kemudian sama sekali tidak mau membagi harta Bersama (harta gono-gini) tegas dicantumkan didalam berbagai undang-undang.
Undang-undang Perkawinan menyebutkan “harta Bersama” adalah harta yang bersumber. Baik dari suami saja, istri saja atau dari suami dan istri.
Sehingga ketika perkawinan dilangsungkan dan kemudian didalam masa perkawinan kemudian mendapatkan harta, maka harta itu kemudian disebutkan sebagai harta Bersama (harta gono-gini).
Undang-undang tidak membatasi. Siapa yang “mencari” dan sumber nafkah. Baik hanya suami, atau hanya istri atau keduanya maka menjadi harta Bersama.
Dengan demikian, walaupun harta bersama atas nama sang suami ataupun sang istri tetap menjadi harta Bersama.
Sehingga tidak tepat ataupun keliru menurut hukum apabila ada “klaim”, disebabkan hanya sang suami yang mencari nafkah, maka tidak disebutkan sebagai harta Bersama.
Setelah ditentukan harta Bersama, maka menurut Kompilasi hukum Islam, harta Bersama harus dibagi dua antara suami dan istri.
Makna ini sekaligus menegaskan apabila harta Bersama kemudian adanya perceraian maka harta Bersama harus dibagi dua antara suami dan istri.
Penegasan ini juga sekaligus membantah klaim, disebabkan karena hanya sang suami yang mencari nafkah, maka sang istri tidak mendapatkan hak atas harta Bersama.
Kekeliruan ini sekalian menjadi penegasan juga untuk memberikan perlindungan kepada sang istri dimata hukum.
Tentu saja apabila harta Bersama walaupun atas nama sang suami kemudian dijual oleh sang suami tanpa persetujuan sang istri dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.