02 Agustus 2023

opini musri nauli : Berkah Ilmu

 

Didalam sebuah kesempatan, saya pernah mendengarkan cerita tentang “ilmu seseorang” yang dianggap lebih rendah dari sang penutur. 


Dengan entengnya dia bercerita sembari sedikit mengejek. 


“Apa yang disampaikannya, tidaklah terlalu hebat. Atau yang disampaikan cuma biasa-biasa saja”. 


Sayapun tersenyum. Sembari kadangkala bertanya didalam hati. 

Mengapa sang penutur mengganggap lebih baik dari yang diceritakannya. Apakah dengan simbol gelar akademik yang dia sandang kemudian “merasa lebih hebat” ? 


Dari sinilah saya kemudian mulai memahami. Ketika didalam dirinya terdapat keangkuhan sekaligus “meremehkan” orang lain dengan menggunakan simbol, disaat itulah kemudian “ilmunya” kemudian menjadi defisit. 


Mungkin orang yang diceritakannya “biasa-biasa saja”. Atau mungkin “terkesan sederhana”. 


Namun yang dilupakannya, justru yang diceritakannya menjadi “dahaga” bagi orang lain. 


Menjadi “oase” ditengah “kegelapan” sang pencari ilmu namun ketika diterangkan menjadi mudah dimengerti, sesungguhnya “itulah ilmu” yang sebenarnya. 


Bukankah ilmu yang baik justru “mendapatkan” manfaat bagi orang lain. Menjadi “suluh” dan obor ditengah kegelapan. 


Bisa saja sang penutur menjelaskannya dengan Sederhana. Menggunakan Bahasa yang mudah dimengerti. 


Namun justru itulah “kekuatan ilmu” yang disampaikan oleh penutur. 


Berbagai ramuan ilmu-ilmu yang dipelajari menjadi renyah ketika dituturkan dan disampaikan kepada berbagai kalangan. Termasuk orang Sederhana sekalipun. 


Saya kemudian lebih suka menyebutkan sebagai “berkah”. Berkah ilmu. 


Ilmu yang didapatkan “walaupun terkesan sederhana” namun dirasakan manfaatnya bagi siapapun, disanalah “ilmu itu bekerja. Menjadi berkah dan berguna bagi orang lain. 


Sehingga “sedikit ilmu” menjadi obat dari dahaga kehausan yang dicari sang pencari ilmu. 


Lalu mengapa sang penutur yang bercerita menjadi “kesulitan” untuk menjabarkan ilmu yang diakuinya “itu mentereng” dan diserap orang kebanyakan ? 


Memang ada “kesulitan” komunikasi, penggunaan kosakata ataupun perumpamaan setinggi langit yang hanya “bisa ditangkap” sebagian elit saja. Sehingga justru menimbulkan “kepusingan” tersendiri untuk memahaminya. 


Dengan disisi lain dengan membangun “atribut”, gelar berderet yang justru “menciptakan tembok dan tabir untuk dipahami diluar kalangannya sendiri, sehingga dia sendiri menjadi “alien”. 


Terjebak dengan pemikirannya sendiri tanpa mudah dipahami oleh orang lain. 


Namun disisi lain, dengan “keangkuhan” tersendiri sekaligus “defisit” ilmunya sehingga menjadi “ilmunya” menjadi tidak berkah. 


Dan menjadi kering. Hampa


Semoga “siapapun” yang diberikan “sepercik” cahaya” yang dipercayakan sang Pencipta untuk manusia, dapat digunakan dengan baik. 


Agar sang Pencipta tidak akan mengangkat ilmu sehingga hidupnya menjadi tidak berguna. 



Advokat. Tinggal di Jambi