03 Agustus 2023

opini musri nauli : Kritik dan Berisik



Akhir-akhir ini, dunia media sosial dihebohkan dengan “pernyataan” dari seseorang yang mengaku “akademisi”. Yang kemudian memantik Diskusi dan polemik berkepanjangan. 


Sebagian kalangan kemudian menyebutkan “apa yang disampaikan” adalah kritik kepada Pemerintah. 


Namun sebagian lagi menyebutkan “itu bukanlah kritik. Tapi lebih berkonotasi penghinaan. Ataupun disebutkan sebagai “pencemaran naik baik”. 

Untuk membedahnya, alangkah baiknya merujuk berbagai definisi itu meletakkan konteks secara utuh. 


Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan kritik adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. 


Kritik didalam alam demokrasi adalah sah-sah. Sebagai perwujudan dari negara hukum sebagaimana diatur didalam UUD 1945. Melambangkan “kebebasan demokrasi” dilihat dari “kebebasan berekspresi”. Bebas mengeluarkan pendapat. 


Menggunakan Dasar konstitusi, maka “bebas berekspresi” dan “bebas mengeluarkan pendapat maka adalah hak konstitusi. 


Namun apabila kemudian diakhiri kata-kata yang tidak pantas, saya kemudian menempatkan sebagai “merendahkan”. Sekaligus “memaki-maki”, merendahkan, menista, menghina, memandang rendah, memburukkan nama baik, menyinggung perasaan orang lain. 


Definisi itulah menggambarkan sebagai menghina sebagai terjemahan resmi didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. 


Tinggal saja kita memilah, apakah pernyataan disampaikan oleh yang “mengaku akademisi” itu adalah “kritik” ataupun penghinaan. 


Dengan demikian maka penerapan “terjadinya” tindak pidana ataupun peristiwa hukum dapat kemudian dapat diadili dimuka persidangan. 


Namun terlepas dari itu semuanya, tanpa harus memasuki wilayah hukum yang akan ditunggu akhir lakonnya, suasana “kisruh” politik yang “mengharu-birukan” suasana menjelang Pilpres seringkali “mengganggu nalar politik” di Indonesia. 


Berbagai pernyataan - bahkan termasuk dengan gelar akademisi yang “mentereng” justru menampakkan “suasana berisik”. Bak “laron menjelang hujan. 


Bahkan berbagai penggunaan kata lebih sering “umpatan”, “Sampah”, kata-kata kotor menghiasa setiap ungkapan yang disampaikan. 


Sebagai “manusia” yang diberikan akal sehat, justru ilmu yang menjadi pondasi penting didalam memahami setiap persoalan, meletakkan logika dan membangun logika Sehat (common sense) menjadikan manusia menjadi luhur. Sekaligus menjadi manusia bermartabat. 


Berbagai seloko masyarakat Jambi menempatkan “tutur kata” menampakkan derajat seseorang. 


Bukankah sering kita dengar “Budi Bahasa” adalah perwujudan dari Tingkah laku, tutur kata dan kesopanan” sebagai bangsa adiluhung. 


Atau seloko “Elok kampung karno yang tuo. Rame kampung karno yang mudo. 



Advokat. Tinggal di Jambi