30 Oktober 2023

opini musri nauli : Khianat Menurut Masyarakat Melayu Jambi

 


Ditengah-tengah masyarakat Melayu Jambi, sikap khianat terhadap kebersamaan sering diungkapkan didalam Seloko. 


Seperti “Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait” artinya janganlah lain di kata lain di hati, “Jangan menggunting kain dalam lipatan”, “menohok kawan seiring” artinya jangan menghianati kawan sendiri. “Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung” artinya hendaknya datang secara baik-baik, pergi juga secara baik-baik

Makna “Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait” dapat diartikan” janganlah lain di kata lain di hati, “Jangan menggunting kain dalam lipatan”, “menohok kawan seiring” artinya jangan menghianati kawan sendiri. “Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung” artinya hendaknya datang secara baik-baik, pergi juga secara baik-baik. 


Ada juga yang menyebutkan “Seiya sekato. Beras samo dibeli. Kerak dimakan sorang”. 


Selain itu ada juga menyebutkan “Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh menohon kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang”


Rasa rasa kebersamaan, kesetiaan, senasib sepenanggungan, ikrar kesetiaan dikenal didalam berbagai seloko. Ikrar kesetiaan sering juga disebutkan “sumpah setio”. Ada juga yang menyebutkan “Karang setio”. 


Berbagai seloko seperti “Ke langit sama dikadah. Ke bumi sama dikutungkan. Darah samo dikacau, daging samo dikimpal”. Atau juga sering disebut ”ada samo dimakan. Dak ado samo ditelan”.


Sebagai ikrar kesetiaan “sepenasib-sepenanggungan” sering disampaikan “ke bukit samo mendaki. Ke lurah samo menurun”. “Seiring-sejalan”


Di Marga Batang Asai Tengah dikenal Bak aur dengan tebing, tebing sayang ke aur, aur sayang dek tebing, tebing runtuh aur tebawo”


Di Marga Kasang Melintang Desa Sungai Baung dikenal “karang Setio” dengan Seloko Sebingkah Tanah. Sekaki Payung. Ke aek Samo-samo di perikan. Ke darat samo-samo di paumo” 


Di Marga Sungai Tenang dikenal Hidup “bak bersuku”. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Ditandai dengan “Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai aur dengan tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng dado berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh membohong kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang.


Di Bungo dikenal hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicecah. Bak “saluko adat Berat samo dipikul ringan samo dijinjing, kebukit samo mendaki kelurah samo menurun.  ado samo dimakan idak samo dicari, seciap bak ayam. sedencing bak besi, kok malang samo merugi.  bak balado samo mendapat. serta terendam samo basah.  terampai samo kering.


Kesemuanya melambangkan kesatuan masyarakat antara satu dengan yang lain. Tidak terpisahkan. Bak “serumpun. 


Kesemua ikrar kemudian ditandai dengan symbol-simbol di panji-panji lambang Kabupaten. Di Kabupaten Sarolangun kemudian berikrar “"Sepucuk Adat Serumpun Pseko". Kabupaten Bungo kemudian ditandai dengan "Langkah Serentak Limbai Seayun". Kabupaten Tebo “Bumi Serentak Galah Serengkuh Dayung”. Kabupaten Batanghari “Serentak Bak Regam”. Kabupaten Muara Jambi “Sailun Salimbai”. Kabupaten Tanjung Jabung Timur “Sepucuk Nipah Serumpun Nibung. Kabupaten Tanjung Jabung Barat “Serengkuh Dayung Serentak Ketujuan”. Kotamadya Sungai Penuh “Sahalun Suhak Salatuh Bdei”.


Sedangkan Kabupaten Kerinci mengusung Motto “Sakti Alam Kerinci”. Kabupaten Merangin “Tali Undang Tambang Teliti. Dan Kotamadya Jambi “Tanah Pilih Pesako Betuah. Keseluruhan Kabupaten di Jambi kemudian mengilir ke Sungai Batanghari yang kemudian dikenal “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah’. Motto yang kemudian terdapat di Lambang Provinsi Jambi. 


Kebersamaan, kesetiaan, senasib sepenanggungan merupakan cermin masyarakat Melayu Jambi. Ikrar kesetiaan yang dikenal sebagai “sumpah setio” ditandai dengan Seloko “Ke langit sama dikadah. Ke bumi sama dikutungkan. Darah samo dikacau, daging samo dikimpal.  Atau juga sering disebut ”ada samo dimakan. Dak ado samo ditelan”.


Sebagai ikrar kesetiaan “sepenasib-sepenanggungan” sering disampaikan “ke bukit samo mendaki. Ke lurah samo menurun”. “Seiring-sejalan”


Di Marga Batang Asai Tengah dikenal Bak aur dengan tebing, tebing sayang ke aur, aur sayang dek tebing, tebing runtuh aur tebawo. 


Di Marga Kasang Melintang Desa Sungai Baung dikenal “karang Setio” dengan Seloko Sebingkah Tanah. Sekaki Payung. Ke aek Samo-samo di perikan. Ke darat samo-samo di paumo”. 


Di Marga Sungai Tenang di Desa Tanjung Mudo. Desa Gedang, Desa Tanjung Alam, Desa Tanjung Benuang  dikenal Hidup “bak bersuku”. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Ditandai dengan “Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai aur dengan tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng dado berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh membohong kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang.


Begitu agungnya nilai-nilai ditengah masyarakat tentang sepenasib-sepenanggungan”, maka terhadap khianat terhadap kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat maka dapat dijatuhi sanksi yang cukup berat. 


Berbagai seloko kemudian menempatkan sebagai “ingkar” sebagai hukuman yang paling berat (Terberat). Sebagaimana seloko “ingkar kepada negeri, serah kepada Rajo”, “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau.


Ada juga menyebutkan “Humo betalang jauh. Pusako mencil”


Marga Tungkal Ulu, Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan. 


Sedangkan Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering disebutkan didalam seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”. 


Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan,. 


Seloko sering juga dihubungkan dengan sumpah (kutukan) Rajo Jambi, Datuk Berhalo aebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk didalam bukunya Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang. 


Dalam praktek sehari-hari dikenal dengan istilah “orang buangan”. “Sakit dak diurus, mati dak dikuburkan”. 


Begitu besar hukuman yang diberikan kepada khianat maka begitu banyak nilai-nilai seloko yang menggambarkan bagaimana agar perilaku masyarakat tidak dibenarkan untuk menjadi khianat. 


Advokat. Tinggal di Jambi