30 Oktober 2023

opini musri nauli : Ajaran Luhur Masyarakat Jawa


Beberapa waktu yang lalu, Di Solo dan Semarang bertebaran poster bergambar petruk. Dengan dua tulisan. Satu Petru menaiki sepeda yang bertuliskan 'Dadi Wong Jowo Ojo Ilang Jowone' yang artinya 'jadi orang Jawa jangan hilang Jawanya'. Poster kedua bertuliskan "Ojo Nganti Dari Wong Jowo Lali Jowone”.

Poster ini menggambarkan kritikan, kemarahan terhadap sebuah sikap yang diambil oleh pemimpin yang meninggalkan tradisi sebagai orang Jawa. 


Banyak yang mengaitkan dengan peristiwa politik tertentu. Namun apabila dilihat lebih dalam, poster ini sekaligus mengingatkan tradisi Jawa yang melakukan kritikan terhadap sikap Pemimpin yang sudah melupakan sebagai orang Jawa. 

Soeharto pernah mengeluarkan filosofi Jawa yang terkenal “Lengser Keprabon. Mandig Pandito”. Seorang Pemimpin yang telah melaksanakan tugasnya (didunia) maka kemudian diharapkan menjadi Pandito (pendeta). Makna sekaligus menegaskan, Soeharto hendak mengucilkan diri dari seluruh urusan didunia 


Presiden Jokowi (Jokowi) sendiri sering mengeluarkan filosofi Jawa seperti “suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti”. Kejahatan akan dikalahkan dengan kebenaran. Kata-kata ini pernah disampaikan ketika persoalan pelik antara KPK dan Kepolisian pada awal-awal menjadi Presiden. Dengan tenang, Jokowi kemudian mampu menyelesaikan dengan Tenang. 


Ketika kemenangan Presiden Periode kedua, Jokowi juga mengeluarkan Filosofi Jawa “ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake,  sugih tanpo bondo”. 


“ngluruk tanpo bolo” diartikan mengalahkan seseorang tidak harus dengan kekerasan. Menang tanpo ngasorake dapat diartikan tidak boleh membuat malu orang yang dikalahkan. “sugih tanpo bondo” dapat diartikan orang yang kaya tetapi tidak punya kekayaan. 


Filosofi ini disampaikan, walaupun kemenangan telah diraih, namun kemenangan yang telah diraih, tidak boleh orang yang kalah kemudian diremehkan, ataupun terhadap kemenangan tidak boleh merasa paling menang. Tetap menghormati sang lawan walaupun telah dikalahkan. 


Namun akhir-akhir ini, sikap dan pandangan Jokowi sudah jauh meninggalkan cara pandang sekaligus ajaran leluhur Jokowi sebagai masyarakat Jawa. 


Berbagai pernyataannya sering tidak konsisten. Lihatlah. Bagaimana pernyataan tentang sang Putra Sulung yang kemudian akhirnya direstui sebagai Cawapres mendampingi Prabowo 2024. 


Padahal dengan enteng sebelumnya, Jokowi Santai mengungkapkan Sang Sulung belum saatnya masuk ke kancah nasional. “Belum cukup Umur”, kata Jokowi didalam pertemuan dengan Pemimpin Redaksi (29 Mei 2023). Bahkan dengan tegas, Jokowi menyebutkan Sang Putra Sulung "Jangan didorong-dorong, itu sudah tidak logis," lanjut Jokowi.


Namun ternyata kenyataannya berbeda. Hanya berbilang bulanan, Jokowi justru merestuinya. Termasuk dengan pernyataan “Ya orang tua tugasnya hanya mendoakan dan merestui," ujar Jokowi usia membuka apel Hari Santri 2023 di Surabaya, Minggu (22/10/2023).


Sikap “mencla-mencle” sering diperumpamaan masyarakat Jawa yang dikenal dengan ungkapan "esuk dele sore tempe”. Ada juga yang menyebutkan “Pagi Kedele. Sore tempe” yang diartikan sebagai “pagi Kedelai, Sore Tempe. 


Ungkapan ini menggambarkan seseorang yang dianggap sebagai pernyataan yang tidak konsistensi, berubah-ubah bahkan mengingkari janjinya sendiri. 


Bahkan ucapan sebelumnya “belum kering dilidah” kemudian berubah. Sehingga menjadi orang yang tidak bisa dipercaya lagi pernyataannya.


Padahal sebagai Pemimpin, didalam tradisi Jawa sekaligus cara sikap sebagai Pemimpin sering disebutkan sebagai “Sabda pandita ratu, tan kena wola wali”. Seorang ucapan Pemimpin harus menjadi pedoman, arah sekaligus tuntutan bagi masyarakat. 


Sikap mencla-mencle atau "esuk dele sore tempe” sangat dibenci oleh masyarakat Jawa. Seorang pemimpin harus teguh pendirian sekaligus mampu menjaga setiap ucapan dengan tindakannya. 


Sikap mencla-mencle atau "esuk dele sore tempe” menggambarkan seorang Pemimpin tidak menyadari sebagai seorang Pemimpin yang bertanggungjawab dengan ucapannya. Ucapan seorang pemimpin menjadi penilaian tersendiri ditengah masyarakat. 


Sementara itu seorang Anak muda yang “Belum cukup Umur” atau “tidak logis” menjadi pemimpin nasional harus melewati proses panjang sehingga tepat menjadi Pemimpin nasional. 


Didalam tradisi Jawa, seorang Anak muda harus melewati “ora kemlipik”. Dapat diartikan apabila ternyata bibi memang unggul harus mempunyai lanjaran yang kokoh dan kuat. 


Sehingga Anak muda yang belum melewati ujian ora kemlipik tidak salah kemudian sering disebutkan didalam tradisi Jawa. “Petruk Dadi Ratu’


Sehingga tidak salah kemudian Jokowi yang sering mengeluarkan ungkapan Jawa seperti “suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti” atau “ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake,  sugih tanpo bondo” harus tetap ingat (eling) dengan 'Dadi Wong Jowo Ojo Ilang Jowone' atau "Ojo Nganti Dari Wong Jowo Lali Jowone”.


Dengan demikian maka pernyataan tentang “Belum cukup Umur” atau “tidak logis” yang belum melewati  “ora kemlipik” justru akan mengingatkan “Petruk Dadi Ratu”. 


Alangkah bijaksananya apabila Jokowi mengambil sikap filosofi Jawa yang terkenal “Lengser Keprabon. Mandig Pandito”. Seorang Pemimpin yang telah melaksanakan tugasnya (didunia) maka kemudian diharapkan menjadi Pandito (pendeta).


Sebagaimana disampaikan “Saya mau pensiun pulang ke Solo” (5 Oktober 2023) dan "Saya akan kembali ke kota saya, Solo, sebagai rakyat biasa,”(wawancara bersama The Economist, 14 November 2022). 


Advokat. Tinggal di Jambi.