Akhir-akhir ini, pengembaraan pemikiran membaca berbagai literatur baik yang dituliskan didalam buku, makalah ataupun berbagai jurnal, tidak dapat dipungkiri, persepsi didalam melihat obyek penelitian seringkali mengganggu penulis.
Misalnya penulis yang berlatar belakang dunia hukum yang tertib dan tunduk dengan asas-asas positivisme, hukum tertulis, pembagian hukum perdata/pidana, asas demokrasi kemudian Melihat obyek pengamatan kemudian “dikungkung” oleh pengetahuan dasar.
Sebagai disiplin ilmu memang tidak salah. Namun ketika latarbelakang pendidikan yang kemudian menjadikan sudut pandang kemudian menilai obyek pengamatan justru terjebak.
Maka ketika asas demokrasi yang keukeuh Pemimpin harus dipilih kemudian bertentangan dengan paradigma yang kuat ditengah masyarakat yang menganggap pemimpin seperti “Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut”
Seorang Pemimpin bukanlah dipilih. Tapi ditunjuk. Dengan memperhatikan bagaimana keteladanan hidup yang telah terbukti ditengah masyarakat.
Sifat kepemimpinan mutlak harus dimiliki seorang Pemimpin. Bersikap jujur dan adil sebagaimana seloko Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur.
Harus cerdik yang ditandai dengan seloko cerdik idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak melilit.
Selain itu harus Pandai dan menejer Tangguh yang mampu menempatkan kemampuan anggota yang ditandai dengan seloko “Orang buto peniup lesung, Orang pekak pelepas bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang patah pengejut ayam, Orang buruk pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas perak peneding malu, Idak ado bergs atah dikisai.
Yang pasti harus tetap menjunjung tinggi kebenaran sebagaimana seloko Bekato benar bejalen lurus, Memakai suci memakan halal.
Bersikap bijaksana yang dilihat didalam seloko Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan ngabisi. Dan mampu seperti suluh/obor. Lihatlah seloko Tempat Betanyo, artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito.
Apakah Pemimpin yang ditunjuk kemudian bertentangan dengan demokrasi.
Apabila menganut konsepsi demokrasi “dari rakyat. Oleh rakyat dan untuk rakyat”, dogma yang terus didengung-dengungkan yang menganut prinsip “dipilih” tentu saja bertentangan.
Namun apabila melihat esensi demokrasi terutama demokrasi Nusantara yang berasaskan “kepemimpinan dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan” yang mengutamakan permusyawaratan” maka itulah demokrasi Nusantara. Demokrasi Pancasila.
Sehingga selama “penunjukkan” tidak adanya keterpaksaan, mengutamakan permusyawaratan”, menerima keputusan bersama, menghargai perbedaaan”, maka esensi demokrasi Nusantara itulah yang sejati.
Sehingga terhadap cara pandang demokrasi yang penulis anut tidak dapat diterjemahkan untuk Melihat cara-cara menentukan Pemimpin dengan cara ditunjuk. Dan tentu saja tidak mudah untuk menyatakan cara ditunjuka bertentangan dengan demokrasi.
Sehingga untuk melihat bagaimana melihat masyarakat baik dari optik cara pandang, alam Kosmopolitan, struktur, penghormatan terhadap pemimpin harus berangkat dari masyarakat itu sendiri. Bukan dari cara pandang penulis sebagai optik yang jauh.
Begitu juga ketika ilmu hukum penulis yang ketat membagi antara hukum pidana dan hukum Perdata didalam melihat Hukum Adat Jambi. Hukum Adat Jambi yang dikenal Induk Delapan Anak Dua belas sama sekali tidak pernah membagi antara hukum pidana dan hukum Perdata. Lalu bagaimana bisa menjelaskan hukum adat ditengah masyarakat Melayu Jambi.
Sikap ini pernah dikritik oleh Koentjaraningrat. Didalam bukunya “Pengantar Antropologi I”, Sikap yang menilai subyek masyarakat yang menjadi kajian juga ditunjukkan kaum terpelajar di Eropa Barat ketika awal-awal (fase Pertama/sebelum 1800 m) kedatangan ke benua Afrika, Asia dan Amerika. 4 abad sebelumnya. Adanya anggapan seperti manusia liar keturunan iblis, primitive yang melihat bangsa-bangsa Pribumi. Selain juga adanya anggapan dapat dimanfaatkan untuk dipertontonkan kepada khayalak ramai. Sikap ini terus ditunjukkan pada fase kedua (pertengahan Abad 19) dengan mengganggap rendah, bodoh, sisa kebudayaan purba.
Sikap inilah yang kemudian penulis lihat didalam berbagai pandangan peneliti yang melihat obyek pengamatan masyarakat Melayu Jambi. Dengan berlatar belakang pendidikan bergengsi kadangkala melihat masyarakat Melayu Jambi dengan cara pandang sang Peneliti itu sendiri.
Adagium yang menempatkan “Melayu adalah Islam” adalah teori Masih melekat didalam melihat masyarakat Melayu Jambi.
Padahal meminjam Teori Ulu Kozok, teori ini Sudah lama usang 50 tahun yang lalu. Periodesiasi Melayu Lama (proto Melayu) dan Melayu Baru (Deutro Melayu) sudah lama tidak berlaku di kalangan akademisi.
Begitu juga melekat Melayu adalah islam adalah penyempitan makna didalam memahami obyek masyarakat Melayu Jambi.
Lalu bagaimana melihat Candi Muara Jambi yang terbesar di Asia yang berdiri dua ribu hektaran lebih yang menganut agama Budha ? Apakah tidak dapat ditempatkan sebagai Melayu.
Berbagai studi Pustaka dan Arkeologi justru menempatkan Candi Muara Jambi sebagai pusat pendidikan tertua didunia. Bandingkan di Abad VI. Lebih tua daripada Universitas Al Azhar dan Universitas Oxford di Inggeris.
Atau dengan Kitab Tanjung Tanah yang menggunakan aksara Incung yang Beragama Hindu. Aksara tertua di Nusantara (meminjam Teori Ulu Kozok). Apakah juga tidak ditempatkan sebagai Melayu.
Bahkan di daerah Sarolangun dikenal Seloko Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo. Penggunaan kata-kata “sakti”, “Rantau Betuah”, “Gunung Bedewo” biasa dikenal didalam tradisi intelektual India, Upanishad. Sebuah gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak semata-mata milik kelompok elite tertentu.
Tentu saja memahami makna Seloko Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo tidak dapat ditafsirkan sebagai ajaran yang bertentangan dengan dogma agama tertentu. Ini tidak berkaitan dengan aqidah ataupun hubungan dengan ketuhanan.
Namun seloko Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo harus ditangkap sebagai makna simbolik Seloko yang menggambarkan daerah-daerah yang memang tidak boleh dbuka. Daerah uluan Sungai Keradak. Salah anak Sungai Batanghari yang kemudian memanjang dan bertemu dengan Sungai Batanghari.
Daerah yang kemudian daerah Hutan Lindung yang kemudian ditempatkan sebagai daerah konservasi/lindung.
Atau dengan kata lain Seloko Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo adalah ajaran leluhur dari puyang (nenek moyang) Masyarakat Melayu Jambi.
Kembali terhadap cara pandang peneliti didalam melihat obyek pengamatan. Dengan optik pengetahuan, cara pandang Peneliti sekaligus kemudian membingkai dengan cara pandang sendiri membuat cara pandang menjadi sempit justru malah mengaburkan pengamatannnya.
Dan yang lebih menyedihkan apabila yang disampaikan hanya berangkat dari cara pandangnya sendiri dan kemudian memaparkan pandangannya.
Selain sang Peneliti gagal memotret menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi justru malah mengaburkan tentang masyarakat Melayu Jambi itu sendiri.
Tidak salah kemudian energi penulis lebih banyak dihabiskan untuk menjelaskan bagaimana masyarakat Melayu Jambi itu sendiri. Dan Pekerjaan itu selain sia-sia juga meletihkan sekaligus melelahkan.
Sudah saatnya ketika melihat masyarakat Melayu Jambi harus menggunakan multi-disiplin ilmu. Entah perpaduan hukum nasional-hukum adat, sosiologi, filsafat dan antropologi. Dengan menggunakan berbagai multi disiplin ilmu dapat memotret masyarakat Melayu Jambi lebih utuh.
Dan tentu “bingkai” didalam otak harus segera ditinggalkan.
Penulis lebih suka menyebutkan ketika melihat masyarakat Melayu Jambi dengan cara membawa bejana (wadah) yang membawa apapun informasi yang nanti akan diolah. Daripada harus membawa kotak yang ketika diisikan ternyata tidak dapat penuh dan terjebak dengan bingkai dan bentuk kotak itu sendiri.