Alangkah kagetnya saya ketika Polda Metro Jaya menetapkan Ketua KPK sebagai tersangka. Tuduhannya tidak main-main. Ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya.
Sebuah mantra yang selalu diucapkan setiap konferensi Pers penetapan tersangka oleh KPK sendiri.
Berbeda dengan Pimpinan KPK yang sebelumnya telah ditetapkan tersangka (Abraham Samad) pemalsuan dokumen atau Bambang Widjojanto disangka terlibat dalam memberi keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi yang kemudian lebih tepat sebagai persoalan Cicak versus Buaya” ketika membongkar Korupsi besar. Ataupun Antasari Azhar jadi Tersangka Pembunuhan.
Namun yang dituduhkan kepada Ketua KPK justru berkaitan dengan pekerjaan pokok untuk memberantas korupsi.
Meminjam istilah Anak muda “ngeri-ngeri sedap”.
Rasanya belum hilang kekagetan publik menerima kabar adanya “cawe-cawe” didalam urusan “batas umur” Capres/Cawapres di MK. Tidak tanggung-tanggung. Selain 6 orang hakim MK yang kemudian dinyatakan melanggar etika (walaupun dengan sanksi teguran lisan), Hakim Konstitusi Arief Hidayat dinilai melanggar etik karena dianggap merendahkan martabat MK lewat pernyataannya di ruang publik.
Bahkan tidak tanggung-tanggung Anwar Usman (Ketua MK) yang terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK soal syarat minimal usia capres-cawapres. Kemudian memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Geger kasus di MK yang terbukti “cawe-cawe” dan adanya intervensi dari pihak luar terhadap MK kemudian dilanjutkan peristiwa yang menimpa ketua KPK “seakan-akan” memutar arah jarum jam kembali ke titik nadir terendah. Masa gelap zaman Orde baru. Dibawah kekuasaan otoriter Soeharto.
Berbagai lembaga negara kemudian berkhianat dari amanat rakyat. Menjadi penindas, menguntungkan sekelompok orang yang dekat dengan pusaran kekuasaan. Berpusat di sekitaran Istana yang kemudian mampu menjaga Bandul kekuasaan.
Korupsi merajalela. Kolusi tanpa basa-basi. Nepotisme memberikan privilege kepada segelintir kekuasaan. Lembaga publik justru menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya.
Alat kekuasaan yang digunakan untuk menindas kemudian membungkam suara-suara nurani rakyat. Pers, kampus, Organisasi kemudian dikontrol. Harus mendapatkan restu dari kekuasaan.
Amarah rakyat kemudian bermuara kepada perlawanan menghasilkan gelombang reformasi. Ditengah-tengah korban-korban, air mata, darah, pembantaian kerusuhan Mei kemudian menghasilkan ikrar.
Menghapuskan segala bentuk KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme). Sebuah slogan yang kemudian menjadi “jejak sejarah” untuk menatap Indonesia paska reformasi.
Partai Politik kemudian berdiri. Berbagai organisasi kemudian tumbuh. Pers kemudian bebas. Kampus merdeka. Perlawanan rakyat terhadap masa kelam orde baru terus dikumandangkan.
Lembaga-lembaga kemudian lahir. KPK (2002), MK (2003) dan berbagai komisi sebagai alat kontrol kekuasaan agar Indonesia tidak mengulangi sejarah kelam masa orde baru.
Namun belum kering airmata, belum lepas dari belenggu ingatan masa kelam orde baru, justru KPK dan MK yang lahir di masa reformasi kemudian mengalami pergumulan. Pimpinan KPK yang kemudian dituduh (tidak main-main) justru tenggelam dengan “khianat” yang telah diberikan.
Pimpinan MK yang bertugas sebagai “penjaga konstitusi” menjadi alat politik. Menjungkir-balikkan logika hukum, common sense nalar publik hanya sekedar memenuhi ambisi kekuasaan semata.
Tidak salah kemudian tuduhan yang dialamatkan kepada ketua KPK sebagai tersangka melanjutkan peristiwa “pemberhentian” ketua MK yang terbukti melanggar etik kemudian dipecat sebagai Ketua MK membuat keduanya kemudian ditempatkan sebagai “reformis gadungan”.
Dan sebagai “reformis gadungan” tidak pantas lagi berada di kancah politik Indonesia.
Dengan demikian maka Indonesia harus tetap menatap optimis setelah perjalanan panjang paska reformasi.
Optimis, harapan, cita-cita dan impian harus senantiasa dikumandangkan. Agar generasi mendatang mendapatkan buah reformasi yang menjunjung semangat anti KKN.