04 Januari 2024

opini musri nauli : Kisah 26 Tahun

Ketika putra keduaku menyelesaikan ujian Tesis di Program Magister Hukum UNJA, terbayang kisah 26 tahun perjalanan. 


Lahir menjelang kejatuhan Soeharto, rumahku sempat menjadi “pusat” sekaligus tempat berkumpul aktivis yang menolak Soeharto. Waktu itu, suasana genting begitu terasa. 


Aku yang dibesarkan didalam Organisasi yang dilarang Pemerintah Soeharto, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia mengalami masa-masa getir. Berbagai rapat kemudian dibubarkan. Penanggungjawab kegiatan sekaligus ketua panitia menjadi langganan dipanggil aparat keamanan. Entah dari ABRI (sekarang TNI) ataupun dari pihak Kepolisian. Alasannya pasti macam-macam. Suasana seram di zaman Orde baru itulah kemudian sang putra lahir. 

Sebagai “tempat” berkumpulnya aktivis tidak salah kemudian teman-teman mahasiswa sering mondar-mandir kerumah. Entah berkumpul membahas agenda serius ataupun agenda-agenda lain. 


Sang putraku yang kemudian lahir ditengah-tengah mahasiswa kemudian menjadi pakem. Hapal lagu-lagu perjuangan. 


Teringatk ketika itu, dia keliling rumah membawa karton sembari teriak-teriak “revolusi. Yee. Ye.. ye.. “. Lagu-lagu yang paling “diharamkan” disaat anak-anak seusianya malah menyanyikan lagu-lagu Balonku. Suasana kemudian dibawakan ketika masuk ke TK. Akupun tertawa mengingat peristiwa itu. 


Sang putra sering juga ikut demonstrasi. Dengan digendong Jawir, dia teriak-teriak ditengah Lapangan. Tidak salah kemudian sifat kritisnya mulai muncul. 


Usai menamatkan pendidikan Dasar, kemudian “nyantri” di Pondok Pesantren Thawalib Putra, Pesantren klasik yang terletak di Padang Panjang. Nyanti kemudian menjadikan sikap tangguh, tidak cengeng. Namun yang paling melekatnya adalah “kepatuhan kepada ibunya”


Mau “kiamat” ataupun apapu peristiwa, ketika sang ibu meminta tolong, dia pasti bergegas. Salah satu keteladanannya yang kemudian menginspirasi adik-adiknya kemudian mengikuti jejaknya. 


Harus nyantri. 


Sikap kritis mulai muncul. Dia paling keras “melarang ibunya” membeli gas 3 kg. Ataupun paling keras menolak beasiswa. 


Dengan entengnya alasannya cukup simpel. Itu bukan hak kita. Nanti Tuhan marah. Dan kemudian mencabut rejeki yang telah ada. 


Ketika masuk UIN STS (dulu IAIN STS), kemudian mulai Belajar kepemimpinan di HMI Cabang Jambi. Mengambil skripsi dengan tema “kebakaran hutan”. 


Usai kuliah kemudian “Magang” di Walhi Jambi. Langsung “mentor” dari Rudiansyah (Direktur Walhi Jambi). Melakukan investigasi kebakaran tahun 2019 dan kemudian menjadi laporan Walhi Jambi. 


Kemudian menjadi Tim assesment kerusakkan batubara di daerah rawan di Sarolangun. Dan kemudian menjadi bahan kampanye Walhi Jambi. 


Dianggap “cukup ilmu Lapangan” kemudian berkeinginan melanjutkan ilmu. Mengambil Magister Hukum di UNJA. 


Tidak tanggung-tanggung. Tema yang diambil adalah UU Cipta Kerja. Salah satu UU yang paling menyita perhatian publik. Dan kemudian berhasil dipertahankan didepan penguji. 


Tidak salah kemudian didalam dirinya kemudian mengalir berbagai irisan. Darah HMI yang terkenal sebagai Organisasi yang banyak melahirkan kepemimpinan. Kemudian nyantri yang memandang hidup dengan optimis. Sekaligus keyakinan segala sesuatu harus diraih dengan ketekunan. Maupun Walhi yang mengajarkan nilai-nilai profesionalisme, solidaritas (persaudaraan), voluntarian (kerelawanan). Nilai-nilai yang sering diucapkan dalam berbagai dialok sehari-hari. 


Memandang putraku, walaupun dia dilahirkan yang dikategorikan sebagai Generasi Z, namun sama sekali tidak ada sikap pantang menyerah. Tidak cengeng. Apalagi sikap “kekanak-kanakkan” yang biasa dikenal sebagai “mental health. Penyakit yang menghinggapi anak-anak seusianya. 


Namun sikap yang ditunjukkan kemudian menginspirasi adik-adiknya agar “harus nyantri”. Keteladanan yang membuat adiknya kemudian menghormatinya. 


Tidak salah kemudian rasa syukur tiada henti kupanjatkan kepada Sang maha pencipta. Berhasil mengantarkan ke jenjang lebih tinggi. 


Semangat sekaligus dedikasi tanpa hentilah membuat mampu meraih pendidikan lebih tinggi. 


Namun “setinggi apapun ilmu”, Masih banyak ilmu pengetahuan dari kampus. 


Janganlah “rasa bangga” terhadap ilmu yang didapatkan dari kampus menjadi pongah. “Merasa paling benar sendiri”. Jauhlah rasa pongah itu. 


Diibaratkan cahaya, ilmu adalah cahaya yang akan memancarkan kepada sang penuntut ilmu. Cahaya akan diberikan sang Illahi kepada siapa yang mau merelakan waktunya kepada orang yang menuntut ilmu. 


Sebagai cahaya, maka ilmu akan hilang apabila ternyata ilmu yang didapatkan ternyata tidak digunakan untuk kepentingan umat manusia. 


Meminjam istilah Pak Cip (Satjipto Rahardjo), hukum dibuat untuk manusia. Bukan manusia mengabdi kepada hukum. 


Gunakan ilmu untuk kepentingan orang banyak. Agar senantiasa sinar akan senantiasa mengiringi langkahnya.


Selamat ananda. Tetap tawakallah. Tetaplah membumi. Terus gali dan belajarlah ilmu dari luar kampus. Kabarkan kepada dunia. Agar ilmu menjadi bermanfaat.