Akhir-akhir ini, Indonesia mengalami pergumulan panjang sebagai sebuah bangsa. Berbagai indikator kemajuan peradaban bangsa sedang mengalami titik kritis. Jatuh ke titik nadir.
Kisah dimulai ketika Sang Raja ingin pangeran yang masih “kemayu” yang belum “matang usianya” hendak didorong menjadi Raja Pengganti. Biasa dikenal Petruk dadi Raja”.
Upayanya tidak tanggung-tanggung. Termasuk menggunakan instrumen resmi untuk memuluskananya.
Sebagai raja, maka berlaku slogan. “Titah Raja tidak boleh dibantah”. Seluruh punggawa kemudian “koor”. Berbaris. Mengikuti tanpa membantah.
Sebagai pangeran yang sama sekali tidak dipersiapkan, “ujuk-ujuk” mendorong sang pangeran kemayu terlalu besar resiko terhadap nasib keberlangsungan peradaban bangsa. Dan resiko itu harus ditanggung generasi selanjutnya.
Namun “kuping” sang Raja terlalu tebal untuk mendengarkan suara-suara protes terhadap upaya sistematis dari sang Raja. Telinga sang Raja terlalu tebal untuk mendengarkan suara hatinya sendiri.
Langkah pertama sang Raja kemudian berhasil. Para penjaga kehormatan negara terlalu “membebek”. Malah tenggelam ditengah hiruk pikuk dan abai dengan suara nurani publik.
Setelah menguasai “medan pertama”, sang Raja kemudian menggerakan seluruh potensi kekuatannya. Baik kekuatan politik, ekonomi maupun menggunakan gemuruh panggung politik untuk menjaga aras langkah selanjutnya.
Dan hiruk pikuk kemudian senyap ketika sang Pangeran Kemayu berhasil mendudukkan keinginan dari sang Raja.
Sementara itu, dunia kampus digemparkan dengan upaya plagiat dan menulis di jurnal “bodong”. Mereka mengambil jalan pintas (shortcut) meraih gelar guru besar dengan cara-cara yang jauh dari konsep akademis. Menulis di jurnal selain bodong juga memalukan. Jurnal yang sama sekali tidak pantas memuat sebagai karya imiah. Sebuah persyaratan untuk mendapatkan gelar akademik. Sebuah penghormatan besar di dunia kampus.
Belum lagi kampus sempat terjebak dengan isu UKT. Uang kuliah yang membumbung tinggi. Meminjan Istilah Iwan Fals, “Apa yang dibeli…mimpi yang terbeli… Sebab harga barang tinggi .. Tiada pilihan selain mencuri… (Mimpi Yang Terbeli, Album 1910, 1988).
Kampuspun terjebak dengan pusaran ekonomi. Terjebak dengan isu UKT yang semakin menjauhkan dari kenyaataan sosial yang membelit rakyat.
Kampuspun kehilangan dimensi moral. Mereka kemudian malah menjadi “menara gading” malah semakin tenggelam dengan urusan administrasi yang semakin “menjelimet”.
Belum selesai geger dari Sang Raja dengan Pangeran Kemayu-nya, kampus yang mulai kehilangan dimensi moral, Organisasi “keagamaan” Malah ikut larut dengan isu sensitif. Pengelolaan tambang yang semakin memiskinkan masyarakat yang kena imbas dari tambang.
Bukan mengurusi urusan moral umatnya dan menjadi garda pembela umatnya, malah ikut-ikutan sinting. Menjadi “penjaga” perusak tambang. Dan berkedok atas nama Tuhan. Tentu saja dilengkapi dengan “dalil-dalil” atas agama yang dibungkus dengan “Fiqih”. Tentu saja membandingkan “manfaat dan Mudarat”.
Maka kemudian “menyembur” berbagai istilah seperti “manfaat dan Mudarat”, “membangkitkan ekonomi umat” dan “bla.. bla..bla”.
Sebagai Organisasi keagamaan, dalil, Tafsir, Fiqih menjadi benteng untuk melindungi dan menjadi cover untuk menutupi keinginannya untuk meraup tambang. Abai dengan kerusakkan tambang yang langsung dirasakan umatnya sendiri.
Organisasi keagamaan kemudian mengikuti jejak kampus. Kehilangan dimensi moral. Dan gagal menjadi penjaga nurani kebenaran umatnya.
Berbagai ajaran Leluhur telah mengingatkan. Sebagaimana sering disampaikan oleh Jayabaya (Ronggowarsito) “ukuman ratu ora adil, akeh pangkat jabat-jabil, kelakuan padha ganjil, sing apik padha kepencil, akarya apik manungsa isin, luwih utama ngapusi” (hukuman raja tidak adil, banyak yang berpangkat, jahat dan jahil, tingkah lakunya semua ganjil, yang baik terkucil, berbuat baik manusia malah malu, lebih baik menipu).
Tandanya juga dapat dilihat “mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kala tida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda” (situasi Negara saat ini, telah semakin merosot, keadaan Negara telah rusak, karena sudah tidak ada yang dapat diikuti lagi, sudah banyak yang meninggalkan tradisi, orang cerdik cendekiawan terbawa arus zaman, suasananya mencekam, sebab dunia penuh dengan kerepotan”). Biasa juga disebut zaman kala bendhu (carut-marut).
Tapi masa kegelapan yang akan datang dan tentu saja berakhir. Sang Ratu Adil akan mengembalikan kejayaan Nusantara. Dan kemudian mengembalikan bandul Nusantara sebagai bangsa yang mempunyai peradaban yang adiluhung.
Namun pertanyaannya. Berapa lama ??