Penafsiran yang digunakan penulis bahwa pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan HAM adalah bahwa dalam pelaksanaannya, kemudian aparat penegak hukum tidak memahami jiwa daripada pasal tersebut.
Pasal tersebut digunakan dalam pelaksanaannya diterjemahkan sebagai “upaya effek jera” dalam pemahamaan kekuasaan negara dan tidak memberikan effek jera ditinjau dari sudut kepentingan hukum.
Bahkan pasal-pasal tersebut justru dalam rangka membungkam daya kritis dari rakyat terhadap jalannya reformasi.
Selain itu juga penafsiran pasal yang digunakan oleh penulis justru dari pengalaman praktek peradilan di Indonesia.
Selain juga sebagai bentuk upaya penyelesaian hukum dalam menangkap rasa keadilan rakyat.
1. Pasal-Pasal Yang diatur dalam KUHP
Pasal 510 KUHP
Arak-arakan Dimuka Umum. Rapat Tanpa Izin.
Pasal 510 KUHP lebih dikenal dengan pasal “Lima Ribu Perak”. Karena adanya denda sebesar Lima Ribu Rupiah.
Perlu dicatat bahwa pada masa lalu melalui petunjuk lapangan yang dikeluarkan oleh POLRI, KUHP pasal 510 pernah diberikan tafsir terlalu luas. Misalnya seminar dan lokakarya dikategorikan sebagai pertemuan dan pesta umum dan harus dimintakan izin terlebih dahulu kepada Polri.
Padahal seminar dan lokakarya merupakan kegiatan ilmiah yang tidak perlu izin dari Polri, sebab merupakan implementasi dari kebebasan akademik yang dimiliki oleh masyarakat ilmiha. Bertitik tolak dari hal-hal tersebut maka pemerintah merekomendasikan agar masalah perizinan kegiatan masyarakat yang diatur dalam KUHP perlu ditinjau ulang.
Namun dalam pelaksanaannya, pasal 510 yang sering digunakan untuk membubarkan pertemuan tanpa izin. Pernah diperlakukan terhadap pembubaran “rapat gelap” SBSI Jambi, November 1997.
Sedangkan mengenai arak-arakan tanpa izin telah diadopsi dalam UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umum. Pasal ini secara yuridis masih berlaku.
Pasal 134, 154, 160
Pasal Penyebar Kebencian (Hatzaai Artikelen)
Pasal ini menerangkan tentang Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan hasutan melakukan tindak pidana. Visi dan opini yang berbeda antara penguasa dengan masyarakat akhirnya membawa penguasa menggunakan hukum pidana sebagai premium remedium (senjata pamungkas).
Akibatnya timbul persoalan baru mengenai abridging the freedom of opinion and speech (pembatasan terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berbicara).
Ketentuan terhadap pasal 154 KUHP dan 160 KUHP sering dipergunakan terhadap pihak-pihak yang pandangannya dianggap berseberangan dengan penguasa. Sikap peradilan pidana terhadap kegiatan politik praktis masih berada dalam area penciptaan kekuasaan.
Hal ini dialami oleh Ir. Soekarno tahun 1927 yang kemudian dalam nota pembelaannya (Pleidoi) berjudul “INDONESIA MENGGUGAT”.
Juga Lihat kasus Pajubul Rahman (mahasiswa ITB) yang melakukan penghinaan terhadap Menteri Dalam Negeri, Nuku Sulaiman ataupun Yenny Rossa Damayanti dan kawan-kawannya yang melakukan demonstrasi menentang berlakunya SDSB, PRD, AJI maupun Dr. Sri Bintang Pamungkas dalam kasus di Dreslen, Jerman dan selebaran kartu lebaran.
Pernah diperlakukan terhadap Cecep Suryana cs pasca perusakan Mapolda Jambi.
Pasal 310, Pasal 317 KUHP
Pencemaran Nama Baik
Pasal ini paling laris digunakan sebagai self defensif terhadap kritik kaum kritis. Pasal ini memberikan penafsiran yang longgar kepada para-para pihak. Pasal ini pernah diperlakukan terhadap aktivis SBSI dan aktivis WALHI Jambi pasca pertemuan dengan Duta Besar AS.
Dan pasal ini pernah diperlakukan terhadap seorang oknum Pengacara yang dianggap mencemarkan nama baik ketua DPRD Jambi.
Pasal 335 KUHP
Perbuatan Tidak Menyenangkan
Pasal ini memberikan penafsiran luas tentang “unsur” pidana pasal tersebut.
Makna kata-kata “perbuatan tidak menyenangkan” menjadi tafsir yang kemudian menjadi alat yang effektif sebagai hukum dijadikan alat untuk membela diri. Pasal ini lebih dikenal sebagai pasal “keranjang sampah”
Pasal 170 dan Pasal 187 KUHP
Melakukan kekerasan dimuka umum dan melakukan kekerasan terhadap Benda
Pasal yang menerangkan tentang terjadinyan ”huru-hara sosial” ternyata digunakan kepada para pemimpin-pemimpin aksi dalam menuntut haknya yang selama ini kritis melakukan perbaikan HAM. Pasal ini untuk sementara effektif membungkam para kaum kritis.
Pasal ini paling sering diperlakukan terhadap para petani, mahasiswa, buruh yang memperjuangkan haknya
Pasal 212 &Pasal 218 KUHP
Melawan perintah petugas yang berwenang dan melawan perintah bubar
Pasal ini diperlakukan terhadap petani, buruh, mahasiswa dan aksi-aksinya apabila diperintah bubar oleh Polisi. Penggunaan pasal dengan penafsiran legal formal, membuat hukum dijadikan alat terhadap kepentingan tertentu.
Hukum tidak menjadi alat yang kemudian effektif dan memberikan “rasa aman” kepada rakyat. Dan penafsiran ini bertentangan dengan HAM (Pasal 28 – 35 UU No. 39 Tahun 1999.
2. Peraturan Perundang-undangan Yang diatur di luar KUHP
UU No. 12 Tahun 1951
Larangan Memiliki dan Membawa Senjata Api dan Senjata Tajam tanpa izin
UU Darurat ini digunakan pada masa darurat. (Lihat 50 Indonesia Merdeka, Jilid 2).
Sejak persetujuan KMB di tanda tangani, peleburan KNIL, banyak pemberontakan dan sebagainya. Selain itu juga UU ini diperlakukan terhadap para “importir” senjata api dan senjata tajam tersebut. Bukan pengguna.
Namun UU ini kemudian ditafsirkan untuk pengguna. Anas Bafadhal dan Hendri Dunant telah menerima akibatnya pasca pemilihan Wawako Jambi.
UU No. 9 Tahun 1998
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umum
UU ini memberikan wewenang kepada aparat polisi dengan alasan menyampaikan Pendapat dimuka umum tanpa izin.
Bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945.
RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB)
Penanggulangan Keadaan Bahaya
Pembahasan Undang-undang ini menimbulkan reaksi yang luar biasa penolakannya oleh masyarakat mengikuti reaksi yang sama terhadap pembahasan UU Perkawinan dan UU Lalu Lintas.
Bahkan Pembahasannya yang sudah tuntaspun ditunda pemberlakuannya oleh Presiden.
UU ini banyak dikhawatirkan pengamat sebagai kebangkitan daripada UU No 5 Tahun 1961 dan UU No. 11 Tahun 1961 Tentang Subversif.
Sudah semestinya tulisan yang disampaikan ini haruslah dibahas secara akademis sehingga menghasilkan perbaikan hukum dalam melihat persoalan-persoalan yang ada.