29 April 2004

opini musri nauli : Terorisme


(Perdebatan Diskusi Ilmiah dan Kepentingan Politik) 

Tiba-tiba kata-kata “terorisme” menjadi sebuah kata mantra sakti yang luar biasa pasca peledakan WTC 11 September 2001. 

Sebagai sebuah kata yang mempunyai daya magnis luar biasa, kata-kata “terorisme” menggantikan kasanah kata yang sebelumnya menjadi diskursus berbagai kajian ilmiah. 

Seperti kata-kata “komunisme”, “liberal”, “Islam radikal”, “aparthaid”, dan berbagai kasanah kata yang sebelumnya menjadi diskusi ilmiah dan kepentingan politik di berbagai negara. Kata-kata ini mendapat legitimate ketika di Bali sebagai daerah wisata yang terkenal di dunia juga meledak bom yang merupakan target vital penting Indonesia yang menjadi sasaran. 

Sehingga Indonesia menjadi sorotan dunia dan kembali merusak fondasi perekonomian nasional. Kedatangan Presideng Megawati ke tempat reruntuhan akibat bom merupakan sikap diplomatik Indonesia yang jitu, walaupun apabila dibandingkan dengan jumlah korban, prioritas itu seharusnya juga dilakukan Presiden Megawati ke Nunukan, tempat penampungan TKI yang kini belum pernah dilakukan nya. 

Dengan kata-kata “terorisme” Presiden AS “seakan-akan” mendapat wahyu dan dukungan dari Kongres untuk menganggarkan US$ 40 milyar menyiapkan seluruh senjata terbarunya untuk memanggul senjata menggempur Afganistan dengan peralatan militer tercanggih dan menjadikan Afganistan sebagai latihan perang nyata serta menggantikan pemerintahan Taliban dengan boneka-boneka-nya. 

Dengan kata-kata itu juga publik AS dilupakan tentang prestasi Presiden yang hanya berkoar-koar tentang perang dan melupakan skandal keuangan Amerika yang paling memalukan seperti skandal World.dot.com, tentang kelakuan akuntan publik Amerika yang telah menipu dunia, timbulnya pengangguran yang meningkat 4 %, timbulnya resesi dunia yang praktis mengingatkan resesi Amerika Tahun 1972. 

 Dengan kata-kata itu juga Bush bertindak seperti Tuhan mengendalikan dunia, menjadi sorotan dunia, dan bertindak tanpa perlu dukungan dunia apalagi PBB untuk nafsu perang-nya. 

Apabila dilihat dari perkembangan sejarah dunia, apa yang dilakukan oleh Bush sebenarnya juga dilakukan oleh Hitler, Stalin, dan berbagai tokoh-tokoh dunia yang mengobarkan perang. 

Bedanya yang dilakukan Bush dilakukan dengan daya diplomasi canggih dan menggunakan berbagai perangkat alat PBB sehingga tidak menampakkan sikap barbar-nya. 

Sebenarnya kata “terorisme” barulah mengisi kasanah perbendarahaan kata menjadi diskusi ilmiah dan menjadi kepentingan politik global ketika pasca peledakan WTC 11 September 2001. 

Sebagai sebuah peristiwa, penulis merasa kagum terhadap desain rencana peledakan tersebut terlepas dari motif apa dilakukan rencana itu. 

Kekaguman penulis disebabkan karena bahwa target yang menjadi sasaran peledakan, letaknya sebuah kota yang industri Amerika dan menjadi simbol Amerika dalam hal digdaya ekonomi. Artinya target merupakan bentuk simbolisme Amerika yang berhasil diperdayakan oleh si-perencana. 

Kedua bahwa seperti yang sering kita dengar, pasca perang dingin yang ditandainya jatuhnya tembok Berlin dan bubarnya Sovyet tahun 1990-an praktis Amerika tidak mempunyai musuh. 

Sehingga didalam mewujudkan bahwa adanya musuh tersebut Amerika kemudian menciptakan musuh-musuh ilusi yang dapat dilihat dari berbagai tayangan Hollywood. Seperti “Independent Day”. 

Rasa angkuh tersebut disalurkan dengan menumbangkan pemerintahan di berbagai dunia dengan alasan tidak demokratis. Namun ketika WTC diledakkan, Amerika seketika itu dibangunkan dari tidur dan kemudian tersentak menyadari bahwa mereka sebenarnya terlalu angkuh. 

Bagaimana mungkin negara yang mempunyai pusat intelijen tercanggih dan terlengkap didunia bisa dibohongi dan dikangkangi oleh rudal hidup pesawat terbang komersial kebanggaan mereka sendiri. 

Di saat pagi hari yang sebenarnya kemudian mengingatkan orang terhadap penyerangan Pearl Harbour. Ketiga bahwa target tersebut direncanakan dengan sangat matang dan yang pasti adalah seorang ahli arsitektur yang mengetahui secara detail struktur bangunan WTC tersebut. Lengkap dengan analisis berbagai sisi baik itu tingkat jatuhnya struktur rangka beton dan sebagainya. Kekaguman penulis semata-mata dilandasi dengan melihat bahwa didalam merencanakan sesuatu haruslah dikerjakan dan dilaksanakan dengan tingkat disiplin yang tinggi. 

Namun menjadi persoalan kemudian motivasi itu kemudian dijadikan dengan perjuangan atas nama agama dalam artian sempit. 

Namun penulis juga mengetahui bahwa mitos-mitos itu dikeluarkan badan Amerika untuk menutupi kedoknya yang lalai mendeteksi dini serangan memalukan tersebut. Pasca peledakan inilah, kemudian hampir praktis satu tahun, dunia dijejali kata-kata “terorisme”. 

Pemimpin berbagai negara merundingkan dan membahas kata-kata tersebut. Pemimpin Arab berbeda pandangan dengan pemimpin Eropa dan berbagai pemimpin negara liberal tersebut. Mahathir berbeda dengan tokoh-tokoh Asean lainnya. Yang pasti dunia kemudian digiring untuk berkonstrasi terhadap persoalan tersebut. Melupakan isu yang lain seperti utang dunia ketiga, ketimpangan ekonomi negara pertama dan negara ketiga, persoalan globalisasi dan kemiskinan. 

Indonesia kemudian larut dalam diskusi “Terorisme”. Yusril Ihza Mahendra kemudian menggodok RUU dan mengajukan ke parlemen. Namun langkah ini sebenarnya kamuflase yang tidak diikuti dengan persiapan Intelijen di berbagai lini. 

Maka menurut penulis, apa yang disampaikan oleh Abdurrahman Wahid bahwa aparat kita lalai adalah benar. Para pemimpin kita sibuk bertikai. Meributkan kursi dan persiapan pemilu 2004. 

Para pejabat yang menjadi garda terdepan menegakkan hukum sibuk membangun koalisi dan menciptakan jaringan akses ke berbagai lini. Persis seperti yang dilakukan oleh partai politik. Terbongkarnya harta Jaksa Agung terhadap kekayaan yang tidak dilaporkan yang kemudian diikuti dengan sikap (tidak gentlement) dukungan penuh dari Jaksa Agung Muda yang beriktiar mendukung kepemimpinan Jaksa Agung. Dualisme Polri beberapa waktu yang lalu. 

Pecahnya di tubuh TNI dalam menyikapi dekrit menjelang turunnya Gusdur merupakan tanda-tanda bahwa aparat kita telah terjebak dalam kepentingan politik praktis dan melupakan fungsi keamanan dalam memberikan perlindungan kepada penduduknya. 

Maka dengan meledaknya bom di Bali sebenarnya mengindikasikan bahwa aparat intelijen kita gagal dalam mendeteksi dini kejadian-kejadian yang merugikan dan merusak nama baik Bali di mata Internasional. 

Maka dalam hal ini sudah selayaknya aparat yang terlibat dalam pola intelijen Indonesia mundur sebagai bentuk kegagalan dalam melaksanakan tugasnya. 

Selain itu penulis meyakini kedepan bahwa kata-kata “terorisme” akan menjadi kata-kata bertuah oleh Pemerintahan Megawati didalam menyikapi berbeda pandangan aliran politik dan ideologi. Kata-kata ini akan menjadi adopsi sebagaimana dilakukan oleh Soekarno “menyelamatkan revolusi”, “antek-antek kapitalis”, “kontra revolusioner”, dan yang dilakukan oleh Soeharto seperti “bertentangan dengan Pancasila, “terlibat G-30 S/PKI”, “mengganggu pembangunan”, “bertentangan dengan budaya timur” dan sebagainya. 

Dari paparan diatas, menurut penulis ada perkembangan baru dari pelaksanaan terorisme. Apabila sebelum kejadian peledakan WTC 11 September 2001, terorisme dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya (teror by state). 

Pola ini merupakan pola standar yang digunakan oleh pemerintahan fasis dan otoriter di berbagai dunia. Pola ini juga dilakukan oleh pihak-pihak yang “bertikai” di UNJA dalam menghadapi perbedaan pandangan dalam menyikapi kasus rektor UNJA. 

Setelah pasca peledakan WTC 11 September 2001, ternyata pola-pola digunakan oleh masyarakat terhadap negara yang kemudian membangun jaringan untuk mencari sasaran aliansi global. 

Maka simbol-simbol globalisasi menjadi target untuk dijadikan teror. Pertanyaanpun muncul mengapa Pulau Bali kemudian menjadi target dan berdarah. Terlalu dini memprediksi karena hipotesis yang penulis kemukakan tidak dapat dijadikan variabel didalam melihat target-nya Bali dijadikan sasaran bom. 

Namun yang pasti, bahwa pola-pola terorisme tidaklah dibatasi oleh negara, paham politik dan ideologi pelaku teror. Pola-pola yang konvensional hanya dinegara tertentu telah merambah ke berbagai negara. Perkembangan ini sebenarnya merupakan konsekwensi logis dari perkembangan dunia. Bahkan pola-pola yang digunakan juga menggunakan peranti canggih. Baik itu internet, jaringan global dan berbagai peralatan canggih.