Tiba-tiba serasa plong dada ini, karena para petugas telah membersihkan jalan-jalan dari poster, spanduk, bendera partai dan hal ikhwal yang berkaitan dengan pemilu. Rasanya hampir 3 bulan, dada ini sesak melihat pemasangan yang semrawut, tempel di tiang listrik, tiang telephon, di bilboard dan berbagai tempat umum yang seharusnya tidak boleh ditempeli atribut yang berkaitan dengan pemilu. Rasa dada ini plong diibaratkan ketika kita bangun pagi hari, lega menghirup udara yang masih cerah.
Secara jujur, poster dan atribut yang dipasang di sepanjang jalan melewati perjalanan telah memberikan hiburan tersendiri. Bisa dibayangkan, perjalanan menuju daerah dimulai dari Jambi, Muara Bulian, Bungo, Bangko, Sarolangun dan kembali ke jambi, jarak yang ditempuh lebih kurang 600 km, di sepanjang itu hampir praktis tidak ada ruang yang kosong.
Bayangkan. Apabila kandidate yang mau masuk ke DPR-RI atau DPD-RI memasang sepanjang jalur itu. Nah kemudian kandidate yang mau masuk ke DPRD Propinsi barulah dilihat dari asal perwakilannya. Apabila kandidate itu mewakili suatu kabupaten, maka sepanjang wilayah daerah itu, poster dan berbagai atributnya mewarnai perjalanan. Nah kemudian disusul para kandidate yang mau masuk ke DPRD Kabupaten, yang paling banyak mendominasinya. Jadi praktis, sepanjang jalur yang telah penulis sebutkan, tidak ada lagi ruang yang kosong. Bahkan beberapa poster kandidate caleg juga dipasang di pohon-pohon disepanjang jalan, dipasang diatas pohon yang paling tinggi, poster yang paling besar dan poster yang paling banyak. Pokoknya bagaimana caranya, kita “dipaksa” menoleh dan memperhatikan poster-poster itu
Cara menarik perhatian dan konsentrasi kendaraan yang lewat dilakukan berbagai cara. Baik dari pemilihan kata-kata, menempelkan fhoto yang menarik perhatian, dan berbagai strategi yang digunakan para kandidate para caleg. Pemilihan kata-kata baik dari yang paling umum maupun pemilihan kata-kata yang menggugah semangat. Maka kata-kata seperti “MOHON DOA RESTU”, “BERJUANG UNTUK RAKYAT”, “MENJALANKAN AMANAH” RAKYAT, “SUARA RAKYAT ADALAH AMANAH” dan kata-kata normatif umum lainnya mendominasi poster-poster kandidate caleg. Selain itu ada juga kata-kata seperti “MEMBANGUN DAERAH”, “INI PUTRA DAERAH X”, dan sebagainya.
Tentu saja pemilihan kata-kata itu didukung dengan photo yang menarik. Apabila partainya yang berasal dari partai yang nasionalis, maka photo kandidate caleg menggunakan tangan dikepal seakan-akan teriak merdeka, dan tentu saja dipasang photo ketua Umum partainya. Sedangkan apabila kandidate yang berasal partai dari Islam, maka pakaian yang berupa jubah, jilbab merupakan tampilan yang sering ditemukan. Untuk mendukung dan meyakinkan para pemilih, para kandidate juga menguraikan profilenya. Baik latar belakang sekolah, prestasi yang pernah diraih maupun kelebihan kandidate untuk membuat para pemilih mau memilihnya.
Apabila kita perhatikan, maka para kandidate dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
Berbagai pernik-pernik yang telah penulis uraikan ternyata tidak membuat para pemilih menjadi paham akan makna demokrasi. Pemilu telah menjadi makna ritual 5 tahunan yang mulai kehilangan relevansi maknya. Pemilu sebagai pendidikan politik juga tidak dijawab para kandidate Caleg dan partai politik.
Selain itu juga hampir praktis tidak bisa dibedakan ideologi antara satu partai dengna partai lain. Bahkan partai-partai yang sebenarnya berbeda dalam ideologi melihat sebuah persoalan kemudian terjebak dengna rutinitas pemilu yang monoton. Maka dapat dimengerti didalam kampanye terbuka, para pemilih lebih tertarik kepada artis dangdutan dan berbagai atraksi kesenian daripada mendengarkan para orator partai berkampanye. Bahkan kampanye terbuka sebagai identitas partai, banyak yang tidak bisa dilaksanakan dengan alasan klasik. Tidak ada pendukung partai dan alasan lain yang membuktikan argumentasi yang penulis sampaikan, bahwa partai politik telah gagal menjadi jembatan aspirasi suara rakyat.
Terlepas dari kekurangan dan belum berjalannya mekanisme dan fungsi partai sebagai kekuatan politik di
Optimis itu selalu kita kumandangkan sebagai respon jawaban langsung dari pertanyaan-pertanyaan rakyat tentang makna demokrasi. Dan pertanyaan itu akan dijawab pada Pemilu 9 April 2009.
Salam demokrasi.