10 Juni 2010

opini musri nauli : PENYEBARAN VIDEO PORNO DILIHAT UU ITE DAN UU PORNOGRAFI


Dunia maya dan dunia publik di Indonesia digemparkan Video porno. “Video porno” menggemparkan Indonesia mengalahkan kasus “Maxi Marama”, Kapal yang masuk ke jalur gaza, Palestina. 

Video porno yang melibatkan artis “A”, “LM”, “CT”, artis top di Indonesia. “Video porno”kemudian membuat masyarakat mencari “video porno” di dunia internet yang menyebarkan “video porno”. 

“Video porno” kemudian menimbulkan persoalan yang membuat pihak saling tuding dan berangkat dari pemahaman yang tidak seragam. 

 Dari analisis sosial, “video porno” dapat dikatakan bahwa melambangkan dinamika dan pergeseran sosial yang jauh dari budaya di Indonesia. 

Budaya Indonesia yang mengagungkan lembaga perkawinan, menabukan hubungan yang dilarang agama dan tentu saja bertentangan dengan pandangan yang menghormati nilai-nilai susila. 

Budaya Indonesia yang berakar dari berbagai agama besar dunia kemudian menempatkan pandangan yang menghormati dan saling menghargai dan menempatkan perempuan Indonesia. 

Ujaran hukum adat yang mengatakan “Budi Negara dilihat daripada Budi Perempuan”. 

Ujaran hukum adat yang menyatakan kemudian didalam relasi antara perempuan di Laki-laki di Indonesia kemudian menempatkan bagaimana posisi perempuan di hormati. 

Terlepas dari perdebatan tentang pergeseran sosial dan budaya di Indonesia, harus diakui sebagian besar masyarakat masih mengagungkan dan menghormati budaya. 

 Berangkat dari pemikiran tersebut, maka kasus “video porno” kemudian menggemparkan Indonesia. 

Terlepas dari analisis sosial yang telah penulis sampaikan, kasus “video porno” menimbulkan persoalan hukum. 

“Persoalan” yang penulis maksudkan, apakah artis yang didalam “video porno” harus dinyatakan bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Pertanyaan pertama. 

Harus dibuktikan apakah artis didalam “video porno” telah memenuhi unsur didalam UU ITE dan UU Pornografi ?. 

Didalam rumusan dalam pasal 27 (1) dinyatakan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. 

 Apabila kita perhatikan rumusan ini, maka kata-kata yang penting dan menjadi sorotan penulis adalah frase kata-kata “tanpa hak”. 

Sebagaimana didalam lapangan hukum pidana, kata-kata “tanpa hak”, adalah perbuatan yang dilakukan dimana hukum tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan yang dilakukan oleh subject hukum. 

Apabila kita perhatikan rumusan ini, maka kata-kata yang penting dan menjadi sorotan penulis adalah frase kata-kata “tanpa hak”. 

 Apabila kita perhatikan dengan frase kata-kata “tanpa hak”, dengna melihat kata-kata selanjutnya, “mendistribusikan/ mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses informasi elektronik…. yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”, maka perbuatan itu diterjemahkan secara singkat, “seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan mendistribusikan… yang memiliki kesusilaan”. Frase kalimat itu menggambarkan bahwa seseorang “tanpa hak” untuk “mendistribusikan..”. 

 Pertanyaan Kedua. Apakah artis yang ada didalam “video porno” kemudian melakukan perbuatan untuk “mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” ? 

Dari ranah, ini maka pembuktian inilah yang harus dilakukan penyidik sebagai bahan untuk melakukan pekerjaan untuk menjawab pertanyataan yang penulis maksudkan. 

Dan apabila kemudian hasil penyidikan, artis didalam “video porno” yang kemudian tidak “mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses”, maka Dengan demikian, maka frase kata-kata “tanpa hak” tidak tepat dikenakan kepada artis “video porno” 

 Pertanyaan Ketiga. Siapa yang “mendistribusikan/ mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses”. Apakah artis yang ada didalam “video porno” dengan maksud untuk menjadi lebih populer. Pembuktian selanjutnya untuk mengetahui siapa yang untuk “mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” ? 

 Pengalaman kasus video porno yang melibatkan mahasiswa di Bandung dalam issu “Bandung Lautan membara” ternyata disebarkan oleh pihak yang melakukan transfer dari handycam ke CD. Mahasiswa yang ada didalam “video porno” hanyalah menjadi korban (victim witneess) dari pihak yang melakukan transfer dari handycam ke CD. 

Justru pihak yang mentransfer yang menjadi pelaku (dader) dan diseret dimuka persidangan 

 Namun yang unik adalah kasus video porno yang melibatkan anggota DPR. Sampai sekarang kita tidak mengetahui siapa yang kemudian diseret dimuka persidangan. 

 Pertanyaan Keempat. Apakah artis didalam video porno dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan melakukan perbuatan pornografi. 

Didalam UU Pornografi sendiri, apabila artis didalam video porno dilakukan didalam tertutup dan tidak “bermaksud (means rea)” untuk konsumsi publik, maka tidak dapat dikategorikan melakukan perbuatan sebagaimana rumusan didalam UU Pornografi. Begitu juga terhadap pihak “mendistribusikan/mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” tidak dapat dikategorikan untuk memenuhi unsur pasal didalam rumusan UU Pornografi. 

 Didalam berbagai sistem hukum baik hukum yang dianut di Indonesia, sistem Eropa Kontinental maupun didalam sistem hukum anglo saxon, pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. 

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). 

Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. 

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006) 

 Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. 

Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya.

 Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. 

Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. 

Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. 

Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem 

 Dengan demikian, terhadap penerapan pasal yang dikenakan terhadap pelaku tidak dapat dibuktikan didalam sistem hukum Eropa Kontintental maupun sistem Anglo Saxon. 

 Setelah penulis memaparkan pandangna penulis dari teori pemidanaan dan pembuktian hukum pidana, maka penulis akan mencoba menjawab tentang “ketidakadilan” yang kita rasakan dalam kasus “video porno” 

 Menurut Gustav Radbruh, Hukum harus mengandung tiga nilai identitas. Asas 

Kepastian hukum (rechmatigheid) yang meninjau dari sudut yuridis, asas keadilan hukum (gerectigheit/wetmatigheid) yang meninjau dari sudut filosofis dan asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid /doelmatigheid/utility) yang meninjau dari sosiologis. 

Apabila kita perhatikan dari ketiga asas dalam kasus “video porno”, maka harus dibuktikan apakah artis didalam “video porno” memang bermaksudkan untuk “mendistribusikan/mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” maka dari sudut yuridis akan menjadi sulit terpenuhi, 

 Dengna demikian, apabila melihat dari identitas hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruh, maka sebenarnya, tidak memenuhi unsur hukum dan tidak tercipta keadilan. 

Dengna demikian, maka rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan itu bertentangan dengan hukum. 

Maka berdasarakan kepada pemikiran tersebut, maka para artis yang nyata-nyata tidak “mendistribusikan/mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” tidak tidak dilihat dari yuridis, filosofis dan sosiologis kasus tidak terpenuhi secara hukum dipersalahkan melakukan perbuatan pidana. 

Justru artis “video porno” merupakan korban dari kejahatan (victim witneess). 

Menjadi perhatian kita siapa yang menjadi pelaku (dader) yang “mendistribusikan/mendistribusikan mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” 

 Pertanyaan terakhir. 

Selanjut kita menunggu siapa yang menjadi pelaku (dader) Dan menunggu kinerja kepolisian membongkar kasus ini. 


 Dimuat Di Jambi Ekspress, 12 Juni 2010