27 September 2010

Keberpihakan pada Petani Masih Setengah Hati


KONFLIK berkepanjangan antara petani dan perusahaan pemegang konsesi menggelitik rasa kepedulian Musri Nauli (38). 

Aktivis Walhi Jambi ini melihat, kondisi petani semakin hari kian memprihatinkan. Banyak diantara petani yang tergolong petani gurem atau tidak memiliki lahan. Walaupun Jambi kaya akan sumber daya alam yang ada. Namun tidak serta merta dinikmati secara adil dan berkelanjutan ditengah masyarakat. 

Pria kelahiran Jambi, 14 Januari 1972 juga melihat, pemerintah masih bersikap setengah hati melaksanakan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang jelas-jelas melindungi hak-hak adat masyarakat lokal. 

Ini terbukti dari mudahnya izin-izin pengelolaan hutan dikeluarkan. Sebut saja izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HP), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan lain-lainnya yang tidak mengabaikan hak-hak adat masyarakat lokal. 


Faktor-faktor inilah yang membuat ayah dari Wiliana Gita Putri, M Sadrah Putra, M Naulindo Putra dan M Lio terpacu adrenalinnya. Untuk senantiasa berada di barisan petani terutama urusan advokasi. 

Suami dari Erdewita Wati itu berharap, pemerintah menghormati hak-hak petani serta memberi kepastian hukum agar petani dapat hidup diatas lahannya yang kini dicaplok perusahaan. 

 Berikut wawancara singkat dengan Musri Nauli, SH di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Telanaipura Kota Jambi, Minggu (26/9). 

Apa yang membuat anda tertarik membela petani? 

Sudah banyak petani Jambi yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin-izin pengusaan lahan untuk korporasi. 
Ini terjadi hampir merata di Provinsi Jambi, terutama di lima kabupaten yakni Batanghari, Muaro Jambi, Tebo, Tanjab Barat dan Tanjab Timur. 
Banyak petani kehilangan lahan. 
Tidak sedikit pula yang harus berprofesi sebagai buruh tani diatas tanahnya sendiri. Pendapatan mereka menurun dan tidak cukup untuk menafkahi anak dan isteri mereka. 
Lebih parah lagi, mereka kerap dituding melakukan perambahan hutan, penyerobotan lahan perusahaan. 
Bahkan tidak sedikit pula yang ditangkap dan diintimidasi. 
Kasus terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah sehingga kepentingn masyarakat termarjinalkan. 

Maksud anda ? 

Begini, UUPA yang menggantikan Agrarische Wet 1870 dengan prinsip domein verklaringnya menyatakan semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, tanah dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda. 
 Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga disebutkan, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
UUPA bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 
Karenanya, UUPA dikenal undang-undang payung (umbrella act) yang mengatur tentang agraria. UUPA turut pula mengatur hukum adat. 
Luas maksimum-minimum hak atas tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. 
Ketentuan ini biasa dikenal dengan landreform. Anda menyinggung soal pemberian setengah hati ? 
 Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law). Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. 
Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati. 

Lantas apa yang terjadi ? 

 Akibatnya, tahun 2009, Luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia 7.125.331 ha. Walhi mencatat, sejak tahun 2003 hingga semester pertama 2010, jumlah konflik sumber daya alam sebanyak 317 kasus. Sawit Watch mencatat lebih dari 630 konflik perkebunan kelapa sawit. Data BPN tahun 2008, konflik tanah di Indonesia mencapai 8.000-an. KPA tahun 2008 mencatat 1.753 konflik yang mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban. 

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah tidak berhasil meningkatkan kemakmuran. 
Kekayaan yang diraup Freeport dan kasus Lumpur Lapindo hanya sekedar contoh. Pendidikan dan kesehatan menjadi barang mahal. 
Pembangunan kemudian menciptakan kesengsaraan, tidak mengakui kepemilikan masyarakat adat, rusaknya pranata sosial dan berbagai konflik yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. 
Penghormatan terhadap hukum adat dikalahkan dengan hukum nasional. 
Konflik sumber daya alam menyebabkan berbagai persoalan yang sampai sekarang tidak jelas arah penyelesaiannya. 
 Tentu saja perdebatan melaksanakan UUPA atau revisi menjadi wacana yang tidak relevan lagi diperbincangkan. Yang menjadi pokok perhatian, bagaimana amanat konstitusi ketentuan pasal 33 UUD 1945 harus dilaksanakan.(gtt) 

Diposkan oleh Koran Mingguan Media Jambi di 02.29 

http://pesonamediajambi.blogspot.com/2010/09/musri-nauli-sh.html