”Ada adagium latin yang sangat terkenal. Fiat justitia ruat caelum, artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.
Kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Kalimat ini paling sering diucapkan dan menjadi ikon berbagai lambang organisasi advokat.
Adagium fiat iustitia ruat coelum (43 SM) menobatkan keadilan sebagai sebuah nilai dan kebajikan moral yang mutlak ditegakkan (di pengadilan).
Meski penguasa harus dilengserkan dari takhtanya, keadilan sebagai kekuatan moral tetap dijunjung. Moralitas dalam pengadilan dikhianati saat seorang hakim mengkhianati etika profesinya
Sebagai ujaran latin untuk melambangkan perjuangan untuk menegakkan hukum, ujaran ini “seakan-akan” menjadi mantra yang mampu menggelorakan sikap “ketidakadilan” dan berhadapan dengan berbagai hambatan dalam upaya penegakkan hukum.
Mantra ini “seakan-akan” mampu menghipnotis dan memperjuangkan keadilan.
Ujaran ini lebih “membumi” dibandingkan dengan nilai “keadilan”.
Mantra ini paling sering diucapkan. Jaksa mengumandangkannya dengna lantang. Hakim menjatuhkan putusan dengna suara tegar.
Dan suara yang sama juga diteriakkan Advokat.
Namun, mantra ini seakan-akan “kehilangan” maknanya. Mantranya tidak bertuah. Mantranya kemudian terjebak dalam hipokrit semu.
Sebagai benteng terakhir, Pengadilan adalah muara dari berbagai sumbatan “ketidakadilan” dan demokrasi.
Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa.
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegak martabat dan integritas Negara.
Hakim Sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara.
Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Namun, mantra itu runtuh. Tertangkapnya Hakim Herman Alossitandi (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), Hakim Ibrahim (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara), Hakim Muhtadi Asnun (Ketua Pengadilan Negeri Tangerang) dan Syafrudin Umar (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) membuat adagium Fiat justitia ruat caelum, artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh telah kehilangan mantranya.
Tidak ada satupun tulisan dari berbagai sumber yang bisa menerima kenyataan itu.
Sehingga membuat sistem peradilan di Indonesia dipertanyakan.
Kepercayaan terhadap integritas aparat penegak hukum pada titik nadir. Jangan-jangan sistem hukumnya juga bermasalah.
Kecurigaan mengusik sistem hukum yang ada.
Penulis akan mencoba mengkaitkan adakah antara tekanan pada kepastian hukum dan kecenderungan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Terlepas dari wacana yang mengemuka itu, negeri ini memang perlu menata ulang institusi hukumnya agar menjadi badan peradilan yang andal (reliable judiciary) dan dihormati di dunia, dimana putusannya mempunyai kepastian hukum yang tinggi.
Sebab tidak dapat dipungkiri banyak keputusan badan peradilan Indonesia telah dinilai tidak reliable.
Padahal keputusan badan peradilan yang tidak reliable itu berhubungan erat dengan kepercayaan publik kepada badan peradilan dan akan pula dapat menghambat perkembangan ekonomi Indonesia.
Perlu diingat bahwa kepercayaan terhadap pengadilan akan tergantung pada pelayan hukum yang diberikan oleh pengadilan itu sendiri, dimana pengadilan tersebut harus dapat memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir pemberi keadilan” (MENATA ULANG INSTITUSI HUKUM, Bismar Nasution, Harian Seputar Indonesia, 25 Januari 2006)
Dimuat Harian Jambi Ekspress, 16 Juni 2011
http://www.jambiekspres.co.id/opini/19469-mengadili-sang-pengadil.html