22 Juni 2011

opini musri naulin : Ultra Petita di MK


Beberapa waktu yang lalu, wacana revisi UU MK mewarnai pembicaraan di berbagai media massa. Revisi UU MK yang paling sering menjadi pembicaraan mengenai “ultra petita”. 

Kompas memuat berita “Larangan Buat Putusan Ultra Petita Dinilai Keliru”. Berita ini merujuk Pasal 45A RUU tentang perubahan UU No. 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui dalam sidang pertama DPR, dan tinggal menunggu sidang paripurna. 

Rumusan pasal ini menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan. Sebagai sejarah perkembangan”ultra petita” di MK, MK yang lahir lahir di tahun 2003, MK ternyata tetap mengadili terhadap UU sebelum tahun 2003 . 

Putusan yang kemudian menyatakan bahwa MK berwenang untuk mengadili UU sebelum tahun 2003 telah menjadi yurisprudensi didalam kewenangan mengadili UU. 

MK kemudian juga membatalkan pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, pasal 137 KUHP, Pasal 154 KUHP, Pasal 155 KUHP, Pasal 356 ayat (1) KUHP yang tidak memberikan ketidakadilan dan tidak sesuai dengan semangat reformasi dan demokratisasi di Indonesia. 

Sedangkan terhadap pasal 160 KUHP adalah MK menyatakan conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Dan MK menolak permohonan uji materiil Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 310 ayat (2) KUHP, Pasal 311 ayat (1) KUHP, Pasal 316 KUHP dan Pasal 207 KUHP. MK juga menarik perhatikan publik karena disaat bersamaan MK telah melebihi yang diminta oleh pemohon (ultra petite). 

Didalam pertimbangan terhadap Putusan Konstitusi Nomor 06/PUU-IV/2006, walaupun pemohon hanya meminta membatalkan (a) Pasal 1 Ayat (9); (b) Pasal 27; (c) Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Namun kemudian MK tidak hanya menyatakan bahwa pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi, namun justru menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 2004 bertentangan dengan konstitusi. 

Sehingga kemudian MK mengabulkan melebihi yang diminta oleh pemohon (ultra petite). Perkembangan wacana “ultra petita” yang kemudian menjadi pembahasan revisi UU MK menimbulkan problematika yuridis. 

Dari sudut pandang ini, maka penulis akan mencoba membahasnya. ULTRA PETITA Dalam istilah hukum, istilah ultra petita yang dianggap sebagai tindakan melampaui wewenang hakim lantaran memutus melebihi apa yang dimohon (petitum) penggugat. 

Putusan semacam ini dilarang secara tegas dalam hukum acara perdata dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg). (yang masih diwarisi dari HIR/RBg buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda) Ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan ”salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). 

Di dalam hukum hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim ”tidak berbuat apa-apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasanya ditentukan para pihak yang berperkara. 

Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). 

Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta. Sebagai prinsip “ultra petita”, pembahasan ultra petita dalam perkara acara perdata sudah menjadi pengetahuan dan pegangan hakim. 

Namun, menurut Bagir Manan, Hakim dibenarkan untuk mengabulkan “melebihi” yang diminta dari pemohon. Bagir menjelaskan, kalau ada pihak mengajukan permohonan, apa yang dimohonkan itu disebut petitum. Hakim, kata Bagir, menurut konsep hukum perdata, hanya boleh memutus sesuatu hal yang dimohonkan saja. 

Tapi, kata Bagir, kemungkinan adanya ultra petita karena biasanya pemohon perkara perdata mencantumkan kalimat mohon keadilan dalam berkasnya (ex auqio et bono). 

Artinya hakim diberi kebebasan untuk mempertimbangkan keadilan di luar petitum-nya sendiri. Bagir menyebutkan ultra petita dimungkinkan tergantung dari dua hal. Pertama, permohonan mencantumkan kalimat mohon keadilan yang secara eksplisit menunjukkan hakim harus memutus sesuai rasa keadilan hakim. Kedua, di wilayah uji materiil (judicial review), di mana hal itu dimungkinkan PROBLEMATIKA YURIDIS ULTRA PETITA Terlepas dari wacana pembahasan revisi UU MK mengenai “ultra petita”, problematika yuridis diterapkan revisi MK menimbulkan persoalan. 

Diterapkan revisi UU MK yang kemudian melarang “ultra petita” berhadapan dengan berbagai putusan MK yang kemudian menjadi yurisprudensi. Permohonan disampaikan oleh para pihak “mempersoalkan” konstitusional UU yang kemudian didalam pertimbangan hakim MK kemudian menemukan berbagai pelanggaran serius yang kemudian mengabulkan melebihi permintaan dari pemohon. Problematika yuridis akan muncul. 

Apakah hakim harus mengabulkan ultra petita atau tidak. Apabila menggunakan pendekatan revisi UU MK, maka hakim MK tentu saja tidak mengabulkan permohonan dari pemohon. 

Namun tentu saja akan menimbulkan persoalan konstitusional. Problematika ini akan berdampak konstusional. Pertanyaan selanjutnya akan timbul. Apakah hakim kemudian menggunakan yurisprudensi (untuk mengabulkan) permohonan konstitusional. 

 Dari ranah ini, kemudian problematika yuridis menjadi persoalan yang tidak sederhana. 

Problematika menerapkan revisi UU MK atau tetap menggunakan yurisprudensi untuk memeriksa dan mengadili permohonan konstitusional. Sebagai lembaga yang lahir di alam reformasi, MK mempunyai solusi yang bisa menjawab problematika yang penulis sampaikan. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 25 Juni 2011