Sungguh heran, di negara yang mengklaim sebagai negara hukum (rechtstaat), aparat hukum nyata-nyata justru tidak mengetahui teknis perundang-undangan dan telah terbitnya UU yang kemudian mencabut UU yang lama (lex posterior derogat legi prior). Perseteruan antara Yusril Ihza Mahendra vs Kejaksaan Agung & Kementerian Hukum dan HAM dalam persoalan “keimigrasian” merupakan persoalan yang menarik untuk didiskusikan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Perseteruan Kejaksaan Agung dengan Yusril Ihza Mahendra pernah menjadi gonjang-ganjing politik yang paling anyar tahun 2010.
Yusril yang ditetapkan sebagai tersangka dalam “dugaan” korupsi Sisminbakum. Kasus Sisminbakum telah menetapkan tersangka terhadap Prof. Romli Atmasasmita dan pejabat penting lainnya di Depkumham. Prof. Romi Atmasasmita kemudian telah menjalani proses hukum dan dinyatakan tidak bersalah dalam kasus tersebut. (MENUNGGU LANGKAH LAKSAMANA CHENG HO Jambi Ekspress, 4 Oktober 2010).
Sebelum diperiksa sebagai tersangka, Yusril mengeluarkan “jurus ampuh” dengan menyatakan Jaksa Agung illegal. Jurus ampuh ini ternyata effektif. Dunia Politik geger.
Perdebatan dalam ilmu hukum membuat banyak pihak tersentak. Wacana tentang tidak diangkatnya Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia Bersatu periode II menimbulkan persoalan yang serius dalam lapangan hukum ketatanegaraan.
Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum). Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup de etaat).
Yusril berhasil menguji konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945 (MENANTI AKHIR LAKON KIPRAH NATSIR MUDA, 16 Juli 2010).
Yusril kemudian berhasil “melengserkan” Hendarman Supandji dari Jaksa Agung.
Kembali ke pembahasan tentang Cekal terhadap Yusril Ihza Mahendra.
Tindakan pencekalan terhadap Yusril Ihza Mahendra yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM dengan menggunakan dasar hukum UU No. 9 Tahun 1992 meminjam istilah Yusril “bukan sekadar bentuk kezaliman, melainkan juga mempertontonkan kebodohan sebagai petinggi hukum di Indonesia.
Alasannya, dalam surat cekal Nomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011, Basrief menggunakan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. (tempointeraktif)
Argumentasi yang digunakan oleh Kejaksaan Agung “UU No. 9 Tahun 2011 “UU Keimigrasian belum berlaku karena belum ada Peraturan Pelaksanaannya” menimbulkan problematika konstitusional.
Untuk menjawab perseteruan “Laksamana Cheng Ho dengan kejaksaan Agung ada baiknya sekedar melihat bagaimana rumusan kapan sebuah produk UU dinyatakan berlaku.
Didalam UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 37 ayat (1) Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Ayat (2) Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Sedangkan Pasal 38 ayat (1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Ayat (2)
Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Pasal 45 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam (a). Lembaran Negara Republik Indonesia; (b). Berita Negara Republik Indonesia; Pasal 50 “Peraturan Perandang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.
Melihat rumusan ketentuan yang berkaitan dengan perundang-undangan, maka kita kembali melihat rumusan UU No. 6 Tahun 2011. Didalam Pasal 142 secara tegas dinyatakan “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Dari rumusan UU No. 6 Tahun 2011, maka sejak diundangkannya UU No. 6 Tahun 2011 (5 Mei 2011), maka UU No. 9 Tahun 1992 (yang menjadi landasan Surat Cekal Terhadap Yusril Ihza Mahendra) menjadi tidak berlaku.
Persoalan Konstitusional berlakunya UU menimbulkan problematika dalam penerapan praktek di Indonesia.
Terlepas “salah tafsir” dari Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM dalam surat cekal terhadap Yusril Ihza Mahendra, pemberlakuan UU menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas pernah mengalami penolakan dari publik.
Praktis UU No. 14 Tahun 1992 tidak pernah berlaku hingga UU No. 22 Tahun 2009 mencabutnya.
Begitu juga RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang paling keras ditolak oleh publik dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (REPOSISI POLITIK ISLAM DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Dimuat di Harian "Jambi Star' Tanggal 13 November 2008)
Dalam dimensi yang lain, Pasal 134 dan pasal 136 bis KUHP yang kemudian dicabut oleh MK, namun jaksa penuntut umum tetap menggunakan pasal itu sebagai dasar tuntutan.
Terdakwa Eggi Sudjana dituntut hukuman penjara empat bulan dengan masa percobaan selama delapan bulan.
Berangkat dari berbagai kejadian yang telah penulis sampaikan,
Perseteruan Yusril dengan Kejaksaan Agung dalam menafsirkan “UU Imigrasi” dan berbagai kejadian tentang UU No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan RUU PKB serta masih diterapkan pasal 134 dan pasal 136 bis KUHP (walaupun sudah dicabut oleh MK) dalam kasus Eggi Sudjana membuktikan, bagaimana aparat penegak hukum masih kurang menguasai UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-undangan.
Langkah Yusril Ihza Mahendra didalam “mempersoalkan” melalui gugatan PTUN menarik untuk kita tunggu. Sehingga tidak salah, “perseteruan” Yusril Ihza Mahendra dengan Kejaksaaan Agung memasuki episode selanjutnya.
Dan penulis memberikan episode ini dengna judul MENUNGGU LAKON “LAKSAMANA CHENG HO” (2)
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 15 Juli 2011