19 Agustus 2011

opini musri nauli : NAZARUDDIN DITENGAH DILEMA NYANYIAN DAN BUKTI HUKUM




Sebagai generasi yang berpolitik di era reformasi, problema politik dan korupsi Nazaruddin mengalami ujian yang sangat berat. 

Problema politik disandarkan dan menguji apakah cara-cara ”membeli” suara menjadi trend atau model berpolitik. 

Sedangkan problema korupsi, angka yang ”dicuri” sudah tidak masuk akal hitungan cara mendapatkan dan penggunaannya (Baca KPK menuduh ada megaskandal korupsi 6,1 trilyun). 

Nilai uang yang ”dicuri” sudah tidak terjangkau dari hitungan akal sehat manusia Indonesia modern membuat, kasus ini menarik dan menjadi perhatian banyak pihak. 

 Dalam ranah politik, penggunaan ”uang” (baik dengan alasan uang akomodasi, kost politik, uang saku) sudah jamak terjadi. 

Setiap pemilihan baik dalam Pilkada (suara yang paling nyaring disuarakan dalam sidang di MK) maupun dalam pemilihan Petinggi Partai ”seakan-akan” sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. 

Dan ”penggunaan uang” bagian trend yang mesti disiapkan kandidate. Dalam ranah korupsi, uang dicuri dari APBN membuktikan selentingan berita sumir yang terjadi, penggerogotan uang APBN seperti ”tikus-tikus” yang tiap hari tiada henti memotong pondasi penting pembangunan. ”

Nyanyian” Nazaruddin yang menceritakan detail proyek-proyek pembangunan, pembagian proyek, siapa mendapatkan berapa, ”seakan-akan” memberikan signal kepada kita semua, betapa berbahaya ”kelakuan” anggota parlemen yang ”berkongkalikong” dengan penguasa didalam mengurus negara. 

Dengan enteng dan tersenyum mengejek sambil memamerkan rekaman CCTV didalam rekaman CD dan flashdisk, Nazaruddin memaparkan berbagai skenario dan tertawa renyah meyakinkan kita semua, skenario yang sudah terbangun. 

 Dalam diskusi di berbagai komunitas (milist, blogger, jejaring sosial) sebagian publik berharap agar ”nyanyian” Nazaruddin disikapi secara serius aparat penegak hukum. Keyakinan publik juga berharap agar ”nyanyian” Nazaruddin dapat menjadi bukti hukum dan menyeret siapapun yang terlibat dalam skenario besar. 

Publikpun yakin kemampuan aparat penegak hukum dapat menjawab berbagai pertanyaan publik secara terang benderang. 

 Namun sebagian publik justru ragu dan pesimis, nyanyian Nazaruddin kemudian hilang dan menjadi berita konsumsi media yang menyiarkan secara bombatis. 

Peristiwa pembongkaran skandal Bank Century dan peristiwa Gayus Tambunan kemudian hanya menyeret operator kecil yang sengaja ”dikorbankan”. Arga Tirta Kirana, mantan Kepala Divisi Legal Bank Century 2005-2009, seorang Ibu biasa dihukum tanpa menyeret ”desain” penting. 

Begitu juga dalam kasus ngemplang pajak trilyunan rupiah melibatkan 100 perusahaan besar di Indonesia Cuma menyeret Gayus Tambunan, seorang pegawai rendahan Ditjen Pajak. 

 2 Peristiwa penting memberikan catatan buruk terhadap pembongkaran berbagai skandal di negeri mafioso (meminjam istilah Denny Indrayana). Penulis termasuk meyakini pesimis aparat penegak hukum didalam membongkar kasus-kasus megakorupsi. 

 Namun walaupun pesimis melihat kasus ini, optimis Dalam kasus Nazaruddin terhadap ”nyanyian” harus diberi ruang untuk membongkar kasus ”megakorupsi”. Nyanyian Nazaruddin (walaupun masih memerlukan bukti-bukti hukum) harus dibuktikan secara hukum. ”Nyanyian” Nazaruddin menjadi bukti awal untuk membongkar. 

Terhadap proyek ”Sea Games”, maka harus dibuktikan, mekanisme pelaksanaan tender pemenang proyek. PPTAK dapat membantu aparat penegak hukum dengan melihat berbagai rangkaian dan transaksi yang mencurigakan dengan melihat waktu dan berbagai kejadian yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek ”Sea Games”. 

”Nyanyian” Nazaruddin bahkan menyebut Anas menerima Rp7 miliar dari proyek wisma atlet SEA Games sudah mengindikasikan ”keterlibatan” Anas sebagai anggota DPR. Dalam ranah pertanggungjawaban korupsi,

 KPK dapat menerapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan korupsi sebagaimana diatur didalam pasal 3 (tentang penyalagunaan wewenang) maupun pasal 12 berkaitan dengan gratifikasi. 

Dengan demikian, penerapan teori ini sekaligus membantah pernyataan sebagian pihak yang berpendapat terhadap kasus ini tidak bisa dibuktikan. Sedangkan didalam proyek Hambalang yang anggarannya mencapai Rp 1,2 triliun dan nyanyian Nazaruddin yang menuduh Anas mendapat Rp70 miliar jatah fee dapat menjadi ”bukti awal” untuk membuktikan ”perbuatan melawan hukum” proyek tersebut. 

Tentu saja semuanya, penegak hukum dapat menerapkan teori deelneming untuk menyeret Anas dalam kongkaling bersama-sama dengan pemenang proyek. Penerapan teori ”deelneming” membuktikan dan mampu menyeret siapapun terlibat dalam ”bau busuk” megakorupsi”. 

 Dua ”nyanyian” Nazaruddin masih berupa keterangan diluar proses hukum. Namun sangat tidak fair, apabila ”nyanyian” Nazarudin kemudian dipelintir dan dinyatakan bukan bukti hukum. 

Tugas penegak hukum yang membuktikan, agar ”nyanyian” Nazaruddin bermakna dan berguna menjadi bukti hukum dan alat bukti untuk menyeret siapapun yang menjadi pelaku dalam rangkaian pidana. Tugas ini selain akan membuktikan kinerja KPK sekaligus dapat membongkar berbagai skenario dan rangkaian ”bau busuk” dalam skandal megaproyek ”memalukan”. 

 Namun apapun proses hukum terhadap Nazaruddin, dalam praktek peradilan, semakin kuat tekanan publik, maka penggunaan hukum sebagai alat cenderung sering disalahgunakan. Hukum sering menjadi alat algojo untuk menghukum tanpa mau membongkar lebih jauh rangkaian skenario. Hukum sering disalahgunakan aparat penegak hukum tanpa perlindungan yang memadai terhadap pelaku. 

Dalam kasus Nazaruddin, dihalang-halangi Pengacara mendampingi proses hukum akan menjadi asumi keliru dan tuduhan berbagai skenario dalam membungkam Nazaruddin. Dalam kejahatan jalanan, penggunakan kekerasan masih sering terjadi. 

Sementara dalam kasus kerah putih, penggunaan gertakan baik halus maupun terang-terangan atau kompensasi untuk menutup mulut tersangka masih sering dipergunakan. 

Bungkamnya Nazaruddin untuk membongkar kasu ini mengindikasikan asumsi yang penulis sampaikan. Dari ranah ini, maka perlindungan terhadap berbagai tuduhan Nazaruddin dan perlindungan fisik mutlak diperlukan. KPK yang bertindak sebagai penegak hukum sulit diharapkan menjalankan fungsi ini. 

Selain karena akan berdampak terhadap ”nyanyian” Nazaruddin terhadap tuduhan keterlibatan petinggi KPK, juga sikap defensif untuk membongkar ”nyanyian” Nazaruddin. LPSK diharapkan menjalankan fungsi ini belajar dari kasus Susno Duaji. Dan Nazaruddin dapat menerangkan ”nyanyian” Nazaruddin membongkar. 

 Sekali lagi, kita menunggu kiprah dan kemampuan KPK untuk menjawab keraguan publik. Apabila ekseptasi publik tidak dapat dijalankan KPK, jangan berharap banyak penuntasan kasus Korupsi akan mendapat dukungan publik.