Usai
sudah putusan terhadap AAL, remaja SMA 3 Palu yang dituduh mencuri oleh Jaksa
Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Palu. Putusan pengadilanpun dijatuhkan.
Secara ringkas, AAL dinyatakan bersalah, namun AAL tidak perlu menjalani pidana
penjara dan dikembalikan kepada orang tua.
Apabila
kita lihat putusan pengadilan tersebut, maka secara garis besar sudah memenuhi
keadilan baik ditinjau dari pendekatan Positivisme disatu sisi (AAL dinyatakan bersalah) maupun
pendekatan keadilan disisi lain (AAL
tidak perlu menjalani pidana penjara dan dikembalikan)
Putusan
itu apabila dibaca ”sekilas” akan
memenuhi kepentingan publik (public
interest), kepentingan sosial (social
interest) dan para pihak yang berperkara (privat interest) sebagaimana sering disampaikan oleh Bagir Manan.
Justru yang paling mengganggu putusan Pengadilan Negeri Palu yang menyatakan
terdakwa telah terbukti.
Namun
ketika Pengadilan Negeri Palu yang kemudian mendasarkan kepada barang bukti
yang dihadirkan dan Putusan Pengadilan Negeri Palu yang mengenyampingkan barang
bukti dan mendasarkan kepada “semata-mata” alat bukti sebagaimana diatur
didalam pasal 184 KUHAP, ternyata mengganggu konsepsi mengenai barang bukti dan
alat bukti berdasarkan kepada 184 KUHAP tersebut.
Didalam
hukum acara pidana, kita mengenal alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal
184 KUHAP. Alat bukti itu terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa.
Yang dimaksudkan dengan barang bukti yaitu
barang mengenai delik dilakukan (obyek) delik dan barang dengan mana delik
dilakukan, yaitu alat yang dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti
ialah hasil dari delik (Andi Hamzah, Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana
tidak disyarat¬kan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. Barang bukti
harus diperlihatkan kepada saksi (Putusan MA 125 K/Kr/1960 tanggal 13 November
1960. Lihat juga115 Kr/K/1972. 23 Mei 1973), juga terdakwa dan menanyakan
kepadanya apakah ia mengenai benda itu. Tentunya juga diperlihatkan bukti diam
(silent evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti.
Alasan yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan. Apakah keterangan itu
dapat atau tidaknya dipercaya berdasarkan pasal 302 R.I.B terserah kepada
kebijaksanan hakim. Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi
apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan
telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa. Namun yang
harus perhatikan tentang barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut umum
ditentukan haruslah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.
Di KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975). Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak ketiga), dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. UU No. 7 Tahun 1955 dan pasal 39 KUHP perampasan tidaklah diharuskan (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964). Namun Barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr/1976 Tanggal 1 Juli 1978). Putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex facti majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16 Oktober 1978)
Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13 November 1962)
Dari paparan diatas, yang menjadi
perhatian kita adalah, Apakah Hukum Pidana yang berfungsi untuk mencari
kebenaran yang materiil, yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya akan
memberikan rasa adil baik kepada pelaku ataupun pihak lain.
Namun disaat Pengadilan Negeri Palu yang
menyatakan barang bukti yang dihadirkan bukan dari hasil kejahatan yang
dilakukan oleh AAL maka menimbulkan persoalan yang cukup serius didalam
persidangan. Walaupun Hakim mendasarkan kepada pembuktian berdasarkan kepada
pasal 184 KUHAP yaitu ”kriteria alat bukti”, namun barang bukti yang dihadirkan
justru membuktikan kepada kita (ada upaya sistematis skenario untuk menyeret
AAL dimuka persidangan), upaya untuk menyeret AAL dimuka persidangan
mendasarkan kepada pendekatan positivisme sebagaimana sering dianut dalam
berbagai yurisprudensi MA. Hakim mendasarkan yang mengenyampingkan barang bukti
(dengan tetap berpatokan semata-mata kepada alat bukti berdasarkan kepada pasal
184 KUHAP), justru memberikan catatan jelek terhadap proses hukum dimuka
persidangan. Barang bukti yang dihadirkan dimuka persidangan (terlepas daripada
barang bukti tidak relevan), seharusnya menjadi bahan pertimbangan hakim, bahwa
saksi yang dihadirkan tidak relevan untuk membuktikan kesalahan terdakwa
(dengan memperlihatkan barang bukti yang dihadirkan) dengna melihat barang
bukti yang dihadirkan.
Pembuktian ”nilai” kerugian merupakan
salah satu unsur yang penting didalam tuduhan pasal 362 KUHP (Pasal pencurian).
Nilai ini harus seimbang dengna unsur pasal yang dituduhkan (UU No. 16 tahun 1960)
KUHP pada masa kolonial berisi
nilai yang dapat diperkarakan adalah 26 gulden, kemudian direvisi menjadi UU no 16 tahun 1960 menjadi
Rp250. Kalau misalnya Rp250 itu pada tahun 1960 setara dengan 10gr emas, maka
harusnya idealnya pun untuk masa sekarang juga mengikuti harga emas. Misal
harga 1 gr emas Rp 450.000 maka nilai minimum yang bisa diperkarakan adalah
Rp4.500.000.
Sehingga unsur yang paling penting,
terhadap nilai kerugian (unsur ”barang”) menjadi tidak terbukti dimuka
persidangan.
Dari nilai kerugian ini, maka pengadilan dapat menentukan, apakah unsur
pasal yang dituduhkan dapat dibuktikan dimuka persidangan.
Berdasarkan kepada uraian yang telah
disampaikan, maka AAL dapat mengajukan banding dengan menggunakan berbagai
penjelasan diatas. Semoga di tingkat banding, paparan ini dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi hakim yang akan memutuskan perkara ini.