Belum
selesai kita melihat persidangan M. Nazaruddin (nas), kita seakan-akan “geram”
melihat persidangan yang menghadirkan saksi Angelia Sondakh (Anggie). Kita “geram”
disadari keterangan yang diberikan anggie jauh dari alam sadar dan rasionalitas
terhadap keterangan yang diberikan. Terlepas dari rasa ”geram” terhadap
keterangna yang telah diberikan Anggie, namun dari sudut pandang hukum acara
Pidana terhadap keterangan Anggie menimbulkan persoalan yang cukup serius.
Didalam KUHAP, sudah ditentukan, Yang
dimaksudkan dengan keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka
persidangan. Harus diperhatikan apakah keterangan tersebut sama dengan
keterangan yang diberikan di muka pejabat yang berwenang. Apakah keterangan
yang diberikan dihadapan Penyidik maupun keterangan di hadapan Jaksa Penuntut
Umum. Keterangan tersebut dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Apabila
saksi yang telah memberikan keterangan tersebut mencabut keterangannya, maka haruslah
mempunyai alasan yang cukup untuk mencabut keterangan itu. Sedangkan keterangan
yang diberikan di muka persidangan itulah yang menjadi alat bukti sebagaimana
ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. Keterangan saksi adalah keterangan yang
diberikan benar-benar mengalami, melihat dan mendengar sendiri. Keterangan itu
adalah keterangan yang menjelaskan tentang peristiwa pidana. Baik pendapat
maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keterangan saksi.
Sedangkan Keterangan yang didapat dari orang lain tidak dapat menjadi alat
bukti yang sah (Testimonium de
audito.lihat penjelasan pasal 185 KUHAP).
Namun berdasarkan ketentuan pasal 168 ayat
(1) huruf a KUHAP, “keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”, memberikan tafsiran
bahwa seseorang dalam suatu penyertaan tindak pidana untuk mengundurkan diri
sebagai saksi. Hal ini disebabkan karena saksi mahkota (kroon getuide) adalah kesaksian seorang yang sama-sama menjadi
terdakwa. Dengan kata lain saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa
orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana.
Pada dasarnya secara prinsip KUHAP
menyatakan dalam Pasal 66 bahwa Tersangka atau Terdakwa tidak boleh dibebani
kewajiban pembuktian. Menurut Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa
hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri, disamping itu terdakwa juga
memiliki hak ingkar berdasarkan Pasal 175 KUHAP. Menurut Pasal 168 huruf (c)
KUHAP: tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi: suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, bunyi pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa yang
bersama-sama sebagai terdakwa mengundurkan diri sebagai saksi. Oleh karena itu
bahwa kehadiran dan/atau penggunaan saksi mahkota ini dilarang oleh KUHAP dan
Yurisprudensi MA. (Lihat Yurisprudensi
Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung MARI, No. 1950 K/Pid/1995,
tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29
April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1706 K/Pid/1994, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 381
K/Pid/1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 429 K/Pid/1995).
Yurisprudensi MA tersebut sangat
menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia sudah seyogianya diikuti oleh
hakim-hakim lain, sebagaimana komentar Ali Budiarto terhadap Yurisprudensi MA
tersebut : ”Putusan Mahkamah Agung dalam
kasus kematian Gadis tokoh buruh Marsinah ini merupakan terobosan baru yang
menciptakan yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status hukum
”Saksi Mahkota” yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh para
hakim sebagai sesuatu yang benar. Dengan adanya yurisprudensi baru ini, maka
adanya ”Saksi Mahkota” adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim
seharusnya menolak saksi mahkota”( Varia Peradilan No 120, September 1995).
Secara
normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga
merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan hak
terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di
samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas
melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional (International Covenant on Civil and Political Right )
Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi
mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa
berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam
ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut :“In the determination of any criminal charge
against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantes, in
full equality : (g). Not to be compelled to testify against himself or to
confess guilty.”
Pada
dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut bertujuan untuk
melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu, diamnya tersangka atau
terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan kesalahannya.
Namun
berdasarkan ketentuan pasal 168 ayat (1) huruf a KUHAP, “keluarga sedarah
atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”, memberikan tafsiran
bahwa seseorang dalam suatu penyertaan tindak pidana untuk mengundurkan diri
sebagai saksi. Hal ini disebabka
karena saksi mahkota adalah kesaksian seorang yang sama-sama menjadi
terdakwa. Dengan kata lain saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa
orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana. Seseorang tersebut yang
telah menjadi terdakwa kemudian akan menjadi saksi terhadap terdakwa lain.
Begitu pula sebaliknya.
Padahal apabila dipandang dari Hak Asasi
Manusia, memberikan keterangan sebagai saksi bagi terdakwa lain dalam perkara
yang sama dan keterangan itu dapat digunakan sebagai hal yang memberatkan
dirinya. Dengan perkataan lain sama halnya dengan cara mendapatkan suatu
pengakuan dengan jalan kekerasan. Dengan demikian saksi mahkota tidak dapat
didengar sebagai suatu kesaksian. (Loebby
Loqman, Lobby Loeqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Jakarta, UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, 1995, Hal. 83)
Dengan perkataan lain, saksi mahkota tidak
dapat didengar sebagai suatu kesaksian.