Berita ancaman “mogok sidang” korp Baju Hitam Hakim Indonesia semakin melengkapi
berita-berita “miring” di Indonesia.
Penulis sengaja menegaskan kata “miring”,
ketika Negara dan Pemerintah seringkali lalai dan abai terhadap hal-hal yang
paling fundamental di Indonesia dan tidak diurusnya berbagai simbol-simbol
hukum.
Berita ini sekaligus juga konfirmasi
berbagai peristiwa terpuruknya hukum di mata publik disaat Pengadilan dipaksa ”menyidangkan” perkara-perkara ”remeh temeh” seperti kasus
pencurian sendal jepit, Prita Mulyasari, Mbok Minah yang mencuri kakao, dan
terakhir nenek Rasminah.
Pengadilan
“dipaksa” menyidangkan
perkara-perkara “remeh temeh” disaat
bersamaan negara-negara di sebelah utara lebih berdiskusi dan berdebat tentang
jumlah bintang-bintang, program ke Planet Mars, program nuklir. Sungguh ironi.
Dalam sikap sarkaisme, sudah seharusnya Indonesia berbicara dalam putaran
global, namun dalam praktek masih berkutat dalam pemikiran yang jauh
tertinggal.
Indonesia yang “mengklaim”
negara hukum (rechtstaat) kemudian
menjadi mantra “sakti” tanpa makna. Sebagai
negara hukum, perbaikan dan perhatian terhadap dunia hukum jauh tertinggal baik
porsi maupun perhatian dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti ekonomi,
politik. Bahkan dengan profesi lainnya seperti PNS ataupun guru, posisi
terpinggirkan hakim jauh tidak diperhatikan.
Hakim
sebagai pejabat negara berdasarkan PP Nomor 41/2002 namun tidak mendapatkan
perlakuan yang pantas. Disaat Anggota DPR “memamerkan”
berbagai tunjangan, hakim justru tidak diperhitungkan sejak tahun 2008.
Kenaikan gaji setiap tahun PNS tidak dilakukan kepada hakim. Bahkan sertifikasi
yang kemudian dinikmati guru, fasilitas dan berbagai tunjangan tidak kunjung diterima
hakim. Wacana “remunerasi ” hanyalah
sekedar utohia yang memberikan “dahaga”
sejenak. remunerasi diterima hanya sebesar 70 % dan kadangkala diberikan tidak
setiap bulan. Bahkan praktis seringkali diterima 3 bulan sekali.
Jangan bandingkan fasilitas ataupun
tunjangan yang diterima oleh Pejabat negara lain, fasilitas seperti hak
protokoler, tunjangan perjalanan, tunjangan rumah seperti ”mimpi” disiang bolong.
Para Rechter/judge
sering
dibicarakan karena kasus-kasus yang menarik perhatian publik namun tidak
membicarakan problema mendasar.
Tanpa
mengabaikan fakta-fakta adanya hakim-hakim yang “nakal” yang kemudian menjadi sorotan publik disidangkan, penulis
masih banyak bertemu hakim-hakim yang mempunyai integritas baik karena
pengabdiannya yang tulus terhadap perkara yang disidangkan maupun penghormatan
kepada profesi Hakim. Hakim-hakim yang mempunyai dedikasi dan integritas lebih
dihormati selain karena memang profesi hakim memang profesi mulia sebagai “wakil Tuhan” juga didasarkan kepada
etika hakim yang tetap menjaga perilaku dan menghormati hakim.
Di
berbagai daerah, masih banyak hakim yang masih menggunakan sepeda motor,
kontrak rumah, tinggal di rumah dinas berdesak-desakkan “persis anak kost”. Bahkan di sebuah Pengadilan, Hakim juga “terpaksa” tinggal di kantor karena
selain rumah dinasnya, air tidka mengalir, listrik sering byar pyet, “keterpaksaan” tinggal di kantor
didasarkan karena di kantor lebih mudah kumpul bersama. Belum lagi fasilitas
internet (sebuah barang mahal yang
praktis tidak disediakan di rumah dinas), menonton televisi. Sehingga dapat
dimengerti, apabila Pengadilan di berbagai daerah di Jambi, malam-malam sering
digunakan berkumpul para hakim-hakim dibandingkan tinggal di rumah dinas. Masih
banyak hakim-hakim yang tetap sidang walaupun dengan fasilitas yang terbatas.
Jangan pula kita berbicara ”meningkatkan kemampuan hakim” mengikuti
perkembangan hukum, sedangkan persoalan sehari-hari saja mereka harus pusing
memikirkannya.
Yang penulis sampaikan hanyalah sekedar
gambaran daerah-daerah daratan. Belum lagi hakim-hakim yang bertugas di
Kepulauan yang menghubungkan antara satu pulau dengan pulau lain. Penulis
pernah bertemu dengan hakim yang pernah bertugas di Sulawesi, atau di
Kalimantan, dimana sidang ditentukan harus menunggu para saksi yang bisa hadir
tergantung cuaca. Saksi bisa saja datang pada waktu yang ditentukan. Namun
karena persoalan cuaca, saksi baru bisa datang 3 hari kemudian.
Belum lagi hakim-hakim yang bertugas di
daerah konflik seperti Aceh, Papua, Maluku ataupun di konflik sambas. Hakim
selain memikirkan keselamatannya juga memikirkan keselamatan keluarganya.
Termasuk mengungsi keluarga ketika pecah konflik.
Dalam kenyataan ini, suara-suara yang
diteriakkan hakim didasarkan bukan semata-mata kepada “persoalan ekonomi”, tapi adalah “suara” yang disampaikan karena mereka tetap menjaga integritas dan
tetap menjunjung tinggi bagaimana Pengadilan tetap berwibawa dan dihormati
masyarakat.
”suara”
yang disampaikan haruslah disambut dengan pikiran jernih, semata-mata bukan
karena ancaman mogok disampaikan para hakim, tapi disadari sejak tahun 2008,
praktis suara mereka kurang diperhatikan.