29 Mei 2012

opini musri nauli : KEKERASAN “ATAS NAMA” AGAMA





KEKERASAN “ATAS NAMA” AGAMA

Kompas, 28 Mei 2012 menurunkan opini yang dibuat oleh Nusron Wahid, “Demokrasi dan kekerasan”. Wacana dibuka “Kita mengenal demokrasi sebagai sistem universal yang menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sekalipun lahir di barat, sesungguhnya dia tumbuh dimana saja. Barat, Timur, Utara, Selatan. Seperti cinta, demokrasi melewati batas. Seperti sepakbola, demokrasi punya aturan jelas
Tulisan ini mengispirasi penulis melihat kekerasan ”atas nama” agama. Penulis memberikan tanda kutip ”atas nama” agama, karena sesungguhnya kekerasan yang terjadi semata-mata tidak mengatasnamakan agama. Tapi semata-mata mengatasnamakan kepentingan politik sesaat, kepentingan ekonomi dan berbagai kepentingan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan agama.

Dengan lugas, Nusron Wahid menguraikan, Perancis (tidak boleh berjilbab), Amerika Serikat (Ahmad Zamroni berlama-lama di Imigrasi), Texas (masih banyak warga yang sinis terhadap perempuan berjilbab), adalah beberapa daerah yang melakukan prinsip-prinsip pelanggaran HAM. Namun di Amerika (Hawaii menetapkan 20 Oktober sebagai Hari Islam), New York (Aliran Thoriqah Haqqani tumbuh subur), Delf- Belanda dan Montreal (Banyak pengikut Abdul Qodir Jailani) justru melindungi tumbuhnya Islam di Barat. Jawabannya; Demokrasi.

Kekerasan ”atas nama” agama menjadi tema yang menarik untuk didiskusikan.  Tad Stahnke dan Robert C. Blitt (2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak memiliki deklarasi apapun di dalam Konstitusinya, seperti Indonesia, Sudan, dan Siria.

Kejadian pertama yang pernah tecatat dari pergerakan anti penguasa dalam Islam adalah dimana saat telah meninggalnya Nabi Muhammad. Kaum Muslim dahulu mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang siapa yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin kaum Muslim, perdebatan itu menghasilkan terpisahnya kaum Syi’ah dan Sunni.

Ketika Sunni dan Syi’ah disibukkan dengan pengembangan pemerintahan yang berdasarkan Islam, ide-ide pembebasan dalam Islam diteruskan oleh kebanyakan kaum Sufisme, yang bertahan pada ilmu kebatinan dari Islam. Sufisme telah sangat dikenal pada zaman kerajaan Islam. Perkembangan kaum Sufi terinspirasikan dibawah filsafat ketimuran, dan anti penguasa juga ide-ide revolusionernya dapat didengar sampai sekarang. Banyak perintah Sufi dan nasihatnya menyebutkan tentang perjuangan untuk persamaan hak kaum perempuan dan keadilan sosial.

Sufisme juga menghasilkan banyak puisi-puisi dan tulisan-tulisan Islami dimana dalam literatur-literatur tersebut kecenderungan anarkisme sangat terlihat. Salah satu penyair Sufi yang terkenal adalah Farid al-Din Attar dari Persia di abad ke-13. Dalam salah satu bukunya “Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the Saints)”, Attar menceritakan kisah dari seorang guru Sufi, Fozail-e Iyaz (yang diperkirakan hidup di abad ke-8) dan Khalifah Abbasid ke-5, Harun al-Rashid.
Berbagai bencana kekerasan berlangsung sepanjang kekuasaan dinasti Islam, yakni pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekerasan pada masa ini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan intelektual.

Kekerasan intelektual diwujudkan dalam wujud pembunuhan terhadap beberapa pemikir yang dianggap dapat merugikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada Ghaylan al-Dimasyqi dan Al-Ja’d bin Dirham yang berpandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Islam bukanlah monopoli keturunan Arab (bangsa Quraisy) sebagaimana yang menjadi pandangan kelompok Sunni, atau dari keturunan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang menjadi garis politik Syiah, melainkan siapa saja dari umat Islam yang disetujui berdasarkan musyawarah (kesepakatan).

Kekerasan pada aspek politik lebih mengerikan lagi. Pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya dimasa Yazid bin Muawiyah, kepala Husain bin Ali dipenggal dari tubuhnya, dan kepala tersebut dibawa ke istana untuk dipermainkan. Seorang tua yang tahu masa kecil Husain dengan gusar berkata: “Saya pernah melihat wajah itu diciumi oleh Rasulullah”. Peristiwa ini disebut sebagai “tragedi Karbala”, sebuah momentum perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah pada tahun 64 Hijriah.

Seorang yang paling berpengaruh dan sangat penting di abad ke-20 adalah Ali Shariati, salah seorang pencetus ideologi Revolusi Islam di Iran.

Kekerasan ”atas nama” agama juga pernah terjadi dalam dominasi kekuasaan Raja dan gereja di Perancis dalam kekuasaan absolut Raja Louis XVI. Giordano Bruno dibakar hidup-hidup. Galileo dua kali diadili oleh Pengadilan dan dipaksa untuk menyangkal pendapatnya. Galileo berhasil menemukan teori yang mengukuhkan teori Copernicus (Heliosentris) yaitu Bumi dan semua planet berputar mengelilingi matahari. Teori yang bertentangna dengan teori geosentrik Aristoteles yang menyatakan matahari yang mengeliling matahari. Pengadilan Gereja melarang penerbitan buku ”Dialoque on the Two Chief World Sistem”.  Dituduh menyebarkan teori yang menentang isi Alkitab, ajaran sesat dan menghina gereja. Galileo diadili dan dijatuhi seumur  hidup.

Sementara itu buku Rene Descartes “Discourse de la Method” dilarang beredar. Dia lari ke Belanda karena menghindari pembunuhan rezim Perancis yang berkuasa.

Melihat perjalanan sejarah kekerasan ”atas nama” agama, maka tulisan yang dipaparkan oleh Nusron Wahid, “Demokrasi dan kekerasan” adalah ”kecerdasan” intelektual NU didalam melihat kondisi terakhir. Dan tulisan yang menawarkan model ”demokrasi” barat yang melindungi kaum minoritas merupakan jalan keluar dari problema yang terjadi..

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 31 MEi 2012