KEKERASAN “ATAS NAMA” AGAMA
Kompas, 28 Mei 2012 menurunkan
opini yang dibuat oleh Nusron Wahid, “Demokrasi
dan kekerasan”. Wacana dibuka “Kita mengenal demokrasi sebagai sistem
universal yang menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sekalipun lahir di
barat, sesungguhnya dia tumbuh dimana saja. Barat, Timur, Utara, Selatan.
Seperti cinta, demokrasi melewati batas. Seperti sepakbola, demokrasi punya
aturan jelas”
Tulisan ini mengispirasi penulis melihat kekerasan ”atas nama” agama. Penulis memberikan tanda kutip ”atas nama” agama, karena sesungguhnya
kekerasan yang terjadi semata-mata tidak mengatasnamakan agama. Tapi
semata-mata mengatasnamakan kepentingan politik sesaat, kepentingan ekonomi dan
berbagai kepentingan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan agama.
Dengan lugas, Nusron Wahid menguraikan,
Perancis (tidak boleh berjilbab),
Amerika Serikat (Ahmad Zamroni
berlama-lama di Imigrasi), Texas (masih
banyak warga yang sinis terhadap perempuan berjilbab), adalah beberapa
daerah yang melakukan prinsip-prinsip pelanggaran HAM. Namun di Amerika (Hawaii menetapkan 20 Oktober sebagai Hari
Islam), New York (Aliran Thoriqah
Haqqani tumbuh subur), Delf- Belanda dan Montreal (Banyak pengikut Abdul Qodir Jailani) justru melindungi tumbuhnya
Islam di Barat. Jawabannya; Demokrasi.
Kekerasan ”atas nama” agama menjadi tema
yang menarik untuk didiskusikan. Tad
Stahnke dan Robert C. Blitt (2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim di dunia menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara yang mendeklarasikan
dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2)
negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, misalnya Irak,
Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara
sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak
memiliki deklarasi apapun di dalam Konstitusinya, seperti Indonesia, Sudan, dan
Siria.
Kejadian pertama yang pernah tecatat dari pergerakan anti penguasa dalam
Islam adalah dimana saat telah meninggalnya Nabi Muhammad. Kaum Muslim dahulu
mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang siapa yang harus menggantikan
beliau sebagai pemimpin kaum Muslim, perdebatan itu menghasilkan terpisahnya
kaum Syi’ah dan Sunni.
Ketika Sunni dan Syi’ah disibukkan dengan pengembangan pemerintahan yang
berdasarkan Islam, ide-ide pembebasan dalam Islam diteruskan oleh kebanyakan
kaum Sufisme, yang bertahan pada ilmu kebatinan dari Islam. Sufisme telah
sangat dikenal pada zaman kerajaan Islam. Perkembangan kaum Sufi
terinspirasikan dibawah filsafat ketimuran, dan anti penguasa juga ide-ide
revolusionernya dapat didengar sampai sekarang. Banyak perintah Sufi dan
nasihatnya menyebutkan tentang perjuangan untuk persamaan hak kaum perempuan
dan keadilan sosial.
Sufisme juga menghasilkan banyak puisi-puisi dan tulisan-tulisan Islami
dimana dalam literatur-literatur tersebut kecenderungan anarkisme sangat
terlihat. Salah satu penyair Sufi yang terkenal adalah Farid al-Din Attar dari Persia di abad ke-13. Dalam salah satu bukunya “Muslim
Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the
Saints)”, Attar menceritakan kisah dari seorang guru Sufi, Fozail-e Iyaz (yang diperkirakan hidup di abad ke-8) dan Khalifah Abbasid ke-5, Harun al-Rashid.
Berbagai
bencana kekerasan berlangsung sepanjang kekuasaan dinasti Islam, yakni pada
masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekerasan pada masa ini tidak hanya dalam bentuk
fisik, tetapi juga kekerasan intelektual.
Kekerasan
intelektual diwujudkan dalam wujud pembunuhan terhadap beberapa pemikir yang
dianggap dapat merugikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada Ghaylan
al-Dimasyqi dan Al-Ja’d bin Dirham yang berpandangan bahwa kekuasaan dalam
masyarakat Islam bukanlah monopoli keturunan Arab (bangsa Quraisy) sebagaimana
yang menjadi pandangan kelompok Sunni, atau dari keturunan Ali bin Abi Thalib
sebagaimana yang menjadi garis politik Syiah, melainkan siapa saja dari umat
Islam yang disetujui berdasarkan musyawarah (kesepakatan).
Kekerasan
pada aspek politik lebih mengerikan lagi. Pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya
dimasa Yazid bin Muawiyah, kepala Husain bin Ali dipenggal dari tubuhnya, dan
kepala tersebut dibawa ke istana untuk dipermainkan. Seorang tua yang tahu masa
kecil Husain dengan gusar berkata: “Saya pernah melihat wajah itu diciumi oleh
Rasulullah”. Peristiwa ini disebut sebagai “tragedi Karbala”, sebuah momentum
perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah pada tahun 64 Hijriah.
Seorang
yang paling berpengaruh dan sangat penting di abad ke-20 adalah Ali Shariati, salah seorang pencetus ideologi Revolusi
Islam di Iran.
Kekerasan ”atas nama” agama juga pernah
terjadi dalam dominasi kekuasaan Raja dan gereja di Perancis dalam kekuasaan
absolut Raja Louis XVI. Giordano Bruno dibakar hidup-hidup. Galileo dua kali
diadili oleh Pengadilan dan dipaksa untuk menyangkal pendapatnya. Galileo
berhasil menemukan teori yang mengukuhkan teori Copernicus (Heliosentris) yaitu
Bumi dan semua planet berputar mengelilingi matahari. Teori yang bertentangna
dengan teori geosentrik Aristoteles yang menyatakan matahari yang mengeliling
matahari. Pengadilan Gereja melarang penerbitan buku ”Dialoque on the Two Chief World Sistem”.
Dituduh menyebarkan teori yang menentang isi Alkitab, ajaran sesat dan
menghina gereja. Galileo diadili dan dijatuhi seumur hidup.
Sementara itu buku Rene Descartes “Discourse de la Method” dilarang
beredar. Dia lari ke Belanda
karena menghindari pembunuhan rezim Perancis yang berkuasa.
Melihat perjalanan sejarah kekerasan ”atas
nama” agama, maka tulisan yang dipaparkan oleh Nusron Wahid, “Demokrasi dan kekerasan” adalah ”kecerdasan” intelektual NU didalam
melihat kondisi terakhir. Dan tulisan yang menawarkan model ”demokrasi” barat yang melindungi kaum
minoritas merupakan jalan keluar dari problema yang terjadi..
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 31 MEi 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 31 MEi 2012