30 Mei 2012

‘opini musri nauli : MEMPERSOALKAN” HAK PREOGRATIF PRESIDEN (Wacana Remisi Corby “Si Ratu Ganja”)


‘MEMPERSOALKAN” HAK PREOGRATIF PRESIDEN
(Wacana Remisi Corby “Si Ratu Ganja”)



Pemberian remisi (mengenai istilah remisi yang dipergunakan oleh penulis, lihat catatan “SBY DAN PERANG CANDU, Posmetro, 25 Mei 2012, http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/3833-sby-dan-perang-candu.html?device=xhtml) kepada Schapelle Leigh Corby (warga negara Australia), berupa pengurangan masa hukuman selama lima tahun, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja di Bali oleh Presiden memang masih menimbulkan perdebatan ahli hukum. Sebagian berpendapat, disebabkan merupakan hak preogratif Presiden memberikan grasi (dalam hal ini pengurangan hukum) maka tidak dapat dipersoalkan dimuka hukum. Namun sebagian lagi berpendapat, setiap kebijakan ketatanegaraan memerlukan “pembuktian” dimuka persidangan untuk melihat pertanggungjawaban hukum dan harus “diuji” dimuka persidangan.

Didalam konstitusi pasal 14 ayat (1), Presiden mempunyai hak konstitusional ”memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah”. Sedangkan didalam pasal 1 butir 1 UU No. 22 Tahun 2002 junto UU No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi diterangkan ”Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.

Apabila kita hubungkan dengan permintaan dari Schapelle Leigh Corby, maka grasi yang dimaksudkan adalah remisi (pengurangan hukuman). Dengan melihat berbagai ketentuan, Presiden mempunya hak konstitusional untuk memberikan remisi.

Dalam tataran ini biasa dikenal dengan ”kewenangan” Presiden sebagai Kepala Negara yang mempunyai hak preogratif. Dalam ranah, ini maka Presiden sebagai Kepala Negara mempunyai hak preogratif untuk memberikan remisi. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan prosedural/formil/ pembentukan undang-undang (wewenang Presiden, tata cara dan mekanisme dalam hal ini mendapatkan pertimbangan MA). Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H menyebutkan wet in formele zin (lihat  Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang)

Namun persoalan tidak sesederhana itu. Selain melihat wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal), pengujian juga terhadap wet in materiile zin materi muatan undang-undang  (undang-undang dalam arti materiil)

Sebagai  ”negara hukum (rechtstaat)”, kewenangan setiap produk ketatanegaraan harus ”diuji” dimuka persidangan. Pertimbangan Presiden memberikan ”remisi” haruslah dilihat berbagai ketentuan yang berkaitan. Yusril Ihza Mahendra menyebutkan berdasarkan  PP No28/2006, pemberian remisi harus ketat dan memenuhi prosedur sebagaimana diatur didalam UU No. 22 tahun 2002 junto UU No 5 Tahun 2010.

Sedangkan  Pakar hukum Internasional Prof Hikmahanto Juwana  mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotopic Substances 1998, melalui UU No 7 Tahun 1997.

Dalam Konvensi itu, Pasal 3 ayat (6), ditegaskan bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum terhadap pelaku kejahatan narkotika.

Dengan melihat rumusan yang telah disampaikan, maka pengajuan keberatan berbagai pihak terhadap remisi Presiden kepada Corby, maka Pengadilan selain akan melihat  wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal), pengujian juga terhadap wet in materiile zin materi muatan undang-undang  (undang-undang dalam arti materiil). Dari titik inilah, batu uji (toetsing) hak preogratif Presiden akan diuji di Pengadilan

Dimuat di Harian Timur Ekspress, 4 Juni 2012
http://www.timurekspres.com/berita-5089-opini.html#.T83Ic231vlw.facebook