‘MEMPERSOALKAN” HAK PREOGRATIF PRESIDEN
(Wacana Remisi Corby “Si
Ratu Ganja”)
Pemberian remisi (mengenai istilah
remisi yang dipergunakan oleh penulis, lihat catatan “SBY DAN PERANG CANDU, Posmetro, 25 Mei
2012, http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/3833-sby-dan-perang-candu.html?device=xhtml)
kepada Schapelle Leigh Corby (warga negara Australia), berupa
pengurangan masa hukuman selama lima tahun, terpidana 20 tahun kasus
penyelundupan ganja di Bali oleh Presiden memang masih menimbulkan perdebatan
ahli hukum. Sebagian berpendapat, disebabkan merupakan hak preogratif Presiden
memberikan grasi (dalam hal ini pengurangan hukum) maka tidak dapat
dipersoalkan dimuka hukum. Namun sebagian lagi berpendapat, setiap kebijakan
ketatanegaraan memerlukan “pembuktian” dimuka persidangan untuk melihat
pertanggungjawaban hukum dan harus “diuji” dimuka persidangan.
Didalam
konstitusi pasal 14 ayat (1), Presiden mempunyai hak konstitusional ”memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah”. Sedangkan didalam pasal 1 butir 1 UU
No. 22 Tahun 2002 junto UU No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi diterangkan ”Grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana
yang diberikan oleh Presiden”.
Apabila kita
hubungkan dengan permintaan dari Schapelle Leigh Corby, maka grasi yang
dimaksudkan adalah remisi (pengurangan
hukuman). Dengan melihat
berbagai ketentuan, Presiden mempunya hak konstitusional untuk memberikan
remisi.
Dalam tataran
ini biasa dikenal dengan ”kewenangan” Presiden sebagai Kepala Negara yang
mempunyai hak preogratif. Dalam ranah, ini maka Presiden sebagai Kepala Negara
mempunyai hak preogratif untuk memberikan remisi. Dalam ilmu hukum biasa
dikenal dengan prosedural/formil/ pembentukan
undang-undang (wewenang
Presiden, tata cara dan mekanisme dalam hal ini mendapatkan pertimbangan MA). Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H menyebutkan wet in formele zin (lihat Judicial
review, menurut Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang)
Namun persoalan
tidak sesederhana itu. Selain melihat wet in
formele zin (undang-undang dalam arti
formal), pengujian juga terhadap wet in materiile zin materi muatan undang-undang (undang-undang dalam arti materiil)
Sebagai ”negara hukum (rechtstaat)”, kewenangan setiap
produk ketatanegaraan harus ”diuji” dimuka persidangan. Pertimbangan Presiden
memberikan ”remisi” haruslah dilihat berbagai ketentuan yang berkaitan. Yusril
Ihza Mahendra menyebutkan berdasarkan PP No28/2006, pemberian remisi
harus ketat dan memenuhi prosedur sebagaimana diatur didalam UU No. 22 tahun
2002 junto UU No 5 Tahun 2010.
Sedangkan Pakar hukum Internasional Prof Hikmahanto
Juwana mengingatkan bahwa Indonesia
sudah meratifikasi United Nation Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotopic Substances 1998, melalui UU No 7 Tahun 1997.
Dalam Konvensi
itu, Pasal 3 ayat (6), ditegaskan bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan
sanksi yang maksimum terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Dengan melihat
rumusan yang telah disampaikan, maka pengajuan keberatan berbagai pihak
terhadap remisi Presiden kepada Corby, maka Pengadilan selain akan melihat wet in formele
zin (undang-undang dalam arti formal),
pengujian juga terhadap wet in materiile zin materi muatan undang-undang (undang-undang dalam arti materiil). Dari titik
inilah, batu uji (toetsing) hak preogratif Presiden akan diuji di
Pengadilan
Dimuat di Harian Timur Ekspress, 4 Juni 2012
http://www.timurekspres.com/berita-5089-opini.html#.T83Ic231vlw.facebook
http://www.timurekspres.com/berita-5089-opini.html#.T83Ic231vlw.facebook